TEMPO.CO, Surabaya – Pakar Geologi Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amien Widodo mengatakan risiko besar mengancam jika Lapindo Brantas Inc tetap berkeras melakukan pengeboran di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Ia menyebutkan, terdapat dua masalah yang mengintai proses pengeboran dua sumur baru di Tanggulangin.
Pertama ialah retakan karena adanya semburan lumpur. Kerusakan dan retak itu melingkar di sekitar pusat semburan. “Tahun 2008 kami mencatat tanah yang terpengaruh semburan lapindo sepanjang 500 meter, lalu pada tahun 2010 sampai 2 kilometer dari batas luar tanggul,” ungkapnya kepada Tempo, Jumat, 16 Januari 2016.
Rinciannya, bagian paling barat mengalami retak sepanjang 2 kilometer, di sebelah utara 1 kilometer, di sebelah timur 1 kilometer, dan bagian selatan sampai Sungai Porong. Masing-masing retakan mengakibatkan rumah dan tanah retak. “Retakan-retakan di sekeliling itu mengeluarkan gas pula, ada yang terbakar, ada yang tidak, ada juga yang keluar air.”
Hal itu sekaligus membantah pernyataan Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Jawa Timur Handoko Teguh Wibowo bahwa rencana pengeboran sumur baru masih aman. “Pendekatannya berbeda. Kalau dia kan ke arah teoritik, kalau kami kan mengukur langsung. Jadi, beda jauh,” kata Amien.
Kedua ialah adanya patahan Watukosek yang terbelah dari Gunung Penanggungan sampai Pulau Madura. Patahan itu panjang dan baru muncul setelah tragedi semburan lumpur tahun 2006. “Tapi belum diteliti dengan baik. Mustinya ada pengukuran untuk kelayakan ini.”
Maka dari itu, Amien mempertanyakan soal penelitian lanjutan pasca penelitian yang dilakukan timnya pada tahun 2010. Sebab ada kemungkinan patahan dan retakan semakin melebar. Ia mengakui, tim ITS tersebut dibentuk oleh Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dan masa tugasnya tak diperpanjang.
Pasalnya, biaya penelitian tersebut mahal. ITS sendiri tak mungkin melakukannya sendiri. “Penelitian kami terbatas hanya sekitar Rp 50-100 juta, padahal yang dibutuhkan lebih dari itu. Kalau mau meneliti seluruhnya dana segitu tidak cukup.”
ARTIKA RACHMI FARMITA