TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meminta para penerbit lebih teliti dalam meloloskan buku pelajaran. Ini terkait dengan maraknya buku pelajaran untuk anak-anak yang mengandung materi radikalisme.
Selain penerbit, Menteri Anies juga meminta pengguna, dalam hal ini guru dan orang tua, lebih waspada. "Sebetulnya ada tiga lapis pengawasan, yaitu penerbit, pengguna, kemudian juga dari pemerintah," kata Anies di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 26 Januari 2016.
Adapun GP Ansor menemukan sejumlah buku pelajaran tingkat taman kanak-kanak berjudul Anak Islam Suka Membaca yang isinya memuat unsur radikalisme. Buku tersebut beredar di kawasan Depok, Jawa Barat. Dalam buku itu terdapat kalimat yang mengarahkan anak-anak pada tindakan radikalisme, di antaranya sabotase, pengeboman, sahid di medan jihad, hingga bantai kiai. (Baca: Penerbit Ini Mengaku Mencetak Buku Ajaran Radikal)
Anies mengklaim pemerintah memberikan perhatian khusus mengenai peredaran buku berbau radikal. Dia mencontohkan, Desember 2015, pemerintah mendapat laporan. Sebulan kemudian, mereka memutuskan melarang peredaran buku tersebut.
Sebuah buku, kata Anies, disusun berdasarkan silabus yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan. Penerbit harus menyesuaikan isi buku dengan silabus yang ada. Jika tak sesuai, Kementerian berhak memberikan peringatan kepada penerbit. "Kalau melanggar akan dilarang. Artinya, semua pendidikan tidak boleh menggunakannya," tuturnya. (Baca: Ini Penjelasan Penulis Buku TK yang Berisi Kata Bom & Syahid)
Sebaliknya, jika masih ada sekolah yang menggunakan, izinnya akan dicabut. Guru yang tetap memanfaatkan buku tersebut pun akan mendapat sanksi. Walaupun bukunya dilarang, Anies mengatakan bahwa Kementerian tak berhak memasukkan penerbit dalam daftar hitam.
"Sebaiknya berikan pertanyaan moral kepada penulis dan penerbit. Bila anak yang diajar adalah anak Anda, apakah Anda juga tetap mengajarkannya?" ucap Menteri Anies.
FAIZ NASHRILLAH