TEMPO.CO, Bandung - Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Jawa Barat Agus Hanafi mengatakan, kelompok Gafatar di Jawa Barat terhitung paling sedikit dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa. “Eksodus yang terbanyak dari daerah lain, di Jawa Barat itu mereka menumpang alamat,” katanya di Bandung, Selasa, 26 Januari 2016.
Agus mengatakan, eks Gafatar asal Jawa Barat yang dipulangkan mengakui tidak memiliki keluarga di Jawa Barat kendati mengantongi kartu tanda penduduk (KTP) daerah di Jawa Barat. “Sekarang mau dikembalikan ke mana, bukan orang sini, enggak punya kerabat. Cuma KTP di sini,” kata dia.
Menurut Agus, soal domisili itu yang menjadi salah satu pertimbangkan lembaganya menolak melanjutkan pemrosesan pendaftaran organisasi Gafatar di Jawa Barat pada 2012. Dia mengaku, kala itu sudah meminta agar badan serupa lembaganya di daerah agar memantau aktivitas kelompok Gafatar.
Dia mengklaim, penyebab anggota kelompok itu eksodus, salah satunya karena sudah merasa tidak nyaman beraktivitas dalam pemantauan. “Mereka merasa di Jawa Barat tidak memberikan apresiasi, dia geser ke ruang yang lain. Saya koordinasi ke Kesbangpol Kabupaten/Kota tolong di awasi, di cermati,” kata Agus.
Agus mengatakan, Gafatar mengirim berkas pendaftaran organisasi pada kantornya pada 2011. Biasanya satu organisasi bisa mendapat kesempatan membenahi dirinya sampai lima tahun untuk mendapat pengakuan administrasi. “Kami beri waktu sejak 2011, sambil dipantau dan monitor. Tapi sejak 2012 Kesbangpol Jabar tidak lagi memverifikasinya,” kata dia.
Dia mengaku, kendati mendapati sejumlah keganjilan, penindakan tidak bisa dilakukan karena belum ada bukti konkrit. “Secara administrasi, profil kelembagaan gak masalah,” kata Agus. Organisasi itu pun tidak tertutup, kegiatan bakti sosial dan kebudayaan yang dilakoninya juga tidak ada yang salah.
Agus menolak merinci kecurigaan kala itu. Kendati diakuinya salah satunya adalah indikasi kelompok Gafatar itu terkait dengan aktivitas Ahmad Mosshadeq. “Link-nya ke sana,” kata dia.
Menurut Agus, salah satu keganjilan kelompok itu ada pada pengakuan domisili anggotanya yang terkesan nomaden. “Sekadar mengkamuflase data, untuk mempersulit pelacakan. Ini provinsin Indonesia ada a, b, c, dan d. Orang daerah e numpang alamat ke a, a ke b, dan seterusnya, untuk menghilangkan (jejak),” kata dia.
Agus mengatakan, kelompok eks Gafatar diantaranya ada yang mengaku merasa tertipu. Dia meyakini, modus kelompok Gafatar berkedok kegiatan sosial, spiritual itu penipuan. “Namanya aliran sesat, sesuatu yang menyimpang itu pasti penipuan,” kata dia.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, eks kelompok Gafatar itu sengaja ditempatkan dalam penampungan terlebih dahulu untuk mempersiapkannya kembali pada lingkungannya. “Kami ingin melakukan normalisasi supaya tidak dikucilkan, jiwanya normal lagi, masyarakat mau menerima, dan pemahana agamanya dibenarkan lagi. Dia hilang traumanya, juga tidak mminder ketika kembali ke masyarakat. Itulah gunanya penampungan,” kata dia di Bandung, Senin, 26 Januari 2016.
Aher, sapaan Ahmad Heryawan mengatakan, sejumlah panti sosial yang dikelola pemerintah provinsi dipersiapkan untuk menampung eks Gafatar asal Jawa Barat. “Orang asal Bekasi misalnya masak di bawa ke Bandung,” kata dia.
Menurut Aher, penanganan eks Gafatar berbeda-beda bergantung kasusnya masing-masing. “Harus satu-satu diselesaikan. Kalau mereka siap kembali, masing-masing dijemput keluarganya, selesai. Tapi selain itu macam-macam kasusnya,” kata dia.
Kepala Dinas Sosial Jawa Barat Arifin Harun Kertasaputra mengaku, ada tiga lagi warga eks Gafatar asal Jawa Barat yang dikirim ke Panti Sosial Bambu Apus, Jakarta Timur. “Kemarin 159 orang, sekarang tambah tiga orang lagi,” kata dia. Ketiganya baru tiba semalam di Jakarta.
AHMAD FIKRI