TEMPO.CO, Boyolali - Sulit bagi pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) untuk memperoleh kembali modal mereka yang dipakai untuk membangun permukiman komunal dan lahan pertanian selama bermukim di Kalimantan Barat. "Dalam rapat yang berlangsung sekitar dua jam, pihak Provinsi Kalimantan Barat menyatakan sulit bagi para ex-Gafatar untuk mendapatkan kembali modal yang mereka bawa dari kampung halaman," kata seorang sumber Tempo yang menolak disebutkan identasnya di Asrama Haji Donohudan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada Jumat, 12 Februari 2016.
Rapat koordinasi penanganan pengikut Gafatar yang berlangsung di Kantor Gubernur Jawa Tengah pada Selasa 9 Februari 2016 itu juga membahas aset pengikut Gafatar di Kalimantan Barat. Peserta rapat selain pemerintah Provinsi Jawa Tengah, juga wakil Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Jambi.
Dalam rapat koordinasi tertutup itu, Pemerintah Kalimantan Barat mengatakan aset lahan milik Gafatar diatas namakan kelompok dan belum diketahui apakah pembeliannya dulu melalui prosedur yang legal (tercatat di notaris atau pejabat pembuat akta tanah).
"Para pentolan Gafatar mustinya masih memegang data rinci ihwal jumlah uang yang terkumpul, dari siapa saja, dan telah digunakan untuk membeli aset apa saja di Kalimantan," kata sumber dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Jawa Tengah itu.
Kepala Sub Bidang Pemilu, Pendidikan, dan Budaya Politik Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah, Haerudin, tidak menyangkal kabar ihwal sulitnya mengembalikan modal awal para ex-Gafatar. "Sebagian ex-Gafatar di sini juga mengaku saat di Kalimantan mereka hanya mengumpulkan uang untuk dibelikan aset dan dikelola bersama," kata Haerudin di Posko Terpadu Asrama Haji Donohudan.
Seorang ex-Gafatar asal Provinsi Lampung, Pangat, 45 tahun, mengatakan memang ada pengurus di tiap permukiman ex-Gafatar. Kepada pengurus itu, Pangat dan puluhan keluarga lain menyerahkan modalnya untuk dibelikan lahan, alat-alat pertanian, bibit tanaman, barang kebutuhan pokok, untuk membangun rumah-rumah panggung dari kayu, dan kebutuhan operasional lain.
"Pasti ada catatannya, berapa uang dari kami dan penggunaannya untuk apa saja. Tapi dia (pengurus yang mengelola modal Pangat dan para ex-Gafatar lain) tidak ditampung di sini. Mungkin di Jakarta atau di lain tempat," kata Pangat yang sebelumnya bermukim di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Bersama 165 ex-Gafatar lain dari Lampung, Pangat ditampung di Asrama Haji Donohudan sejak Rabu dua pekan lalu. Hingga kini dia belum tahu kapan akan dipulangkan ke Lampung.
Bersama istri dan satu anaknya, Pangat mengaku baru sekitar 1,5 bulan tinggal di Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka membawa modal sekitar Rp 100 juta dari hasil menjual kebun, dua ekor sapi, dan sejumlah barang berharga. "Pemerintah harus mengembalikan seluruh modal kami dengan cara membeli semua aset yang tertinggal di sana (Kalimantan). Sebab, pemerintah juga yang membawa kami ke sini dan melarang kami kembali ke Ketapang," kata Pangat.
DINDA LEO LISTY