TEMPO.CO, Jakarta - Apa yang Anda lakukan di usia 20 tahun? Kalau Yasa Paramita Singgih, menjadi miliuner. Men's Republic, merek pakaian pria yang diusungnya, beromzet Rp 100 juta per bulan. Kesuksesan itu membawanya tampil sampai ke ajang internasional. Terakhir, Bank BCA mendapuknya sebagai pembicara dalam diskusi wirausaha, pertengahan Januari lalu.
Namun tidak ada yang berubah dari anak muda itu. Orang-orang di sekitarnya tetap mengenal dia sebagai Yasa yang rendah hati dan kalem. Kalaupun ada yang beda, cuma caranya dalam membeli busana. "Saya tidak perlu lagi membeli baju atau sepatu karena pakai produk sendiri," katanya kepada Tempo, pekan lalu.
Yasa merintis usahanya saat baru berusia 16 tahun. Waktu itu, ayahnya, Marga Singgih, sakit jantung. Meski ekonomi keluarganya mapan—mereka tinggal di permukiman menengah di Kompleks Griya Kebayoran, Jakarta Selatan—ada saat biaya pengobatan Marga tidak terpenuhi karena terpakai untuk uang sekolah tiga anaknya. "Saya ingin cari uang sendiri," ujar Yasa.
Otak mudanya tidak banyak berpikir, Yasa lebih mementingkan tindakan. Yasa ngeluyur ke Tanah Abang, pusat tekstil terbesar di Asia. Tujuannya adalah mencari pedagang baju yang mau diajak bekerja sama untuk dipasarkan secara online. Dia mengincar busana pria dengan alasan sederhana: tidak paham baju perempuan.
Niatnya berulang kali membentur dinding. Bagaimana tidak, yang nongol di muka para juragan itu anak bau kencur. Kebanyakan, Yasa melanjutkan, minta bayaran di muka. Padahal dia datang dengan kantong kosong. Belasan kios dia lewati dengan hasil nihil. Sampai di satu lapak pakaian pria—sayang dia tidak mengingat nama penjual dan kiosnya—tujuannya tercapai. Pedagang itu merelakan barangnya dipinjam untuk Yasa pasarkan via Internet. "Cuma modal kepercayaan," kata Yasa.
Kegirangan, siswa Sekolah Menengah Atas Regina Pacis Jakarta itu langsung menggelar lapak di Kaskus dan BlackBerry Messenger. Yasa semakin girang saban helai per helai dagangannya terjual. Baju yang tidak laku dia kembalikan lagi ke rekannya. Bocah itu pun bolak-balik Kebayoran Lama-Tanah Abang. Mulai sebulan sekali, jadi sepekan sekali. Makin sering, makin besar pula margin yang dia peroleh. “Enggak tahunya jadi keenakan,” ujarnya, tersenyum.
Dasar otak pengusaha, keuntungan dagangan tidak dia pakai untuk berfoya-foya. Yasa memutar uangnya untuk melebarkan bisnisnya ke ranah kuliner. Pada 2012, dia membuka kafe "Ini Teh Kopi" di Jakarta Barat. Sayang, setahun kemudian kedai itu bangkrut karena merugi Rp 100 juta. "Aku enggak bisa kelola," ujarnya. Benar kata orang, kalau belum nyusruk, belum bisa naik sepeda. Kalau belum rugi, belum bisa dibilang pengusaha.
Yasa bangkit dan kembali berfokus di bisnis busananya. Dengan modal tersisa, dia mencari rekanan untuk membuat produk sendiri. Maka berdirilah Men’s Republic pada 2013. Dengan label seperti itu, yang terbayang adalah sesosok pria bening dengan gaya trendi seperti perancang busana. Namun, sebaliknya, Yasa blak-blakan mengaku buta mode. "Saya bukan orang yang fashionable," katanya.
Yasa sama sekali tidak paham soal bahan dan cara penjahit membuat sepatu dan baju yang dia pesan. Dia mengandalkan desainer lepas untuk merancang produknya—diproduksi di lima pabrik di Bandung dan Tangerang. "Mau buka salon, bukan berarti harus jadi tukang potong rambut," ujarnya. Kunci sukses di bisnis, dia melanjutkan, bukan skill di bidang yang digeluti. "Tapi jujur, bisa memberi apa yang kita janjikan, dan jangan menang sendiri."
AISHA SHAIDRA