TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengingatkan, jika pemberlakuan pengampunan pajak (tax amnesty) tertunda, berpotensi menurunkan kredibilitas pemerintah. Dampak lainnya, kepercayaan wajib pajak menurun dan ada penilaian negatif terhadap negara yang terancam tersedot likuiditasnya.
Meski demikian, pengampunan pajak tetap harus dirancang dengan matang. "Perluasan akses ke data perbankan, integrasi NIK (nomor induk kependudukan) dan NPWP (nomor pokok wajib pajak), perbaikan koordinasi dan integrasi sistem administrasi, serta konsistensi penegakan hukum adalah ranah yang mesti digarap serius," kata Yustinus melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin, 22 Februari 2016.
Ia mengatakan pengampunan pajak bertujuan jangka pendek mendongkrak penerimaan pajak 2016. Penerimaan tersebut menjamin kecukupan dana APBN merealisasikan program pemerintah. Di sisi lain, pengampunan berdampak pada peningkatan wajib pajak dan basis pajak secara signifikan. "Akhirnya pelaku usaha informal juga dapat masuk ke sistem formal dan mengakses layanan pemerintah dan perbankan," ucap Yustinus.
Baca: Ekspor Bahan Mentah Mebel Ditutup, Petani Rotan Menjerit
Menurut Yustinus, langkah pemerintah adalah peluang menawarkan pengampunan sebelum keterbukaan menjadi sarana rekonsiliasi data yang efektif menuju sistem perpajakan baru melalui tax amnesty. Sebab, Indonesia belum siap menerapkan praktek pemungutan pajak yang ideal. "Kita paham pula berbagai keterbatasan dan impitan yang tak jarang mempersempit ruang penegakan hukum."
Pengampunan pajak yang disertai repatriasi dana diyakini mampu membangkitkan perekonomian nasional dan menciptakan investasi baru, penciptaan lapangan kerja baru, dan pembiayaan berbagai program. Ditambah lagi, pemberlakuan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan yang berisi pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information) terkait keterbukaan informasi perbankan mulai berlaku pada 2018. "Jika dimampatkan, kita menuju era di mana wajib pajak akan semakin sulit menemukan sarang persembunyian pajak yang dikemplang," Yustinus berujar.
Ia mengatakan pengampunan pajak ini masuk akal diberlakukan karena aset yang besar tersimpan di luar negeri. Berdasarkan data Tax Justice Network (2010), tercatat ada US$ 331 miliar atau setara Rp 4.500 triliun aset orang Indonesia ditempatkan di negara suaka pajak (tax haven). Global Financial Integrity (2013) menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke-7 yang memiliki aliran dana haram ke luar negeri dengan aliran dana Rp 200 triliun setahun.
ARKHELAUS W