TEMPO.CO, Yogyakarta - Perlahan-lahan Siti menuruni tangga di depan kamar indekosnya setelah lebih dulu mengunci pintu ruangan berukuran tidak lebih dari 4 x 4 meter persegi. Ia mengikuti jejak suaminya yang lebih dulu meraba tepi tangga untuk turun. Sesampainya di bawah digapainya lengan kiri sang suami untuk digandeng. Anak laki-laki semata wayangnya yang baru berumur 7 tahun sudah berangkat ke sekolah lebih dulu. Jam menunjukkan belum genap pukul tujuh.
Pagi itu, pemilik nama lengkap Siti Sa’adah itu menjalani aktivitas rutinnya. Perempuan berkerudung hitam itu tidak melepas genggamannya dari lengan Dwi Nugroho, laki-laki yang menikahinya 9 tahun silam. Langkah kaki keduanya dituntun oleh tongkat aluminium yang dipegang dengan tangan kanan suami. Mereka berjalan sejauh 50 meter, sebelum sampai di depan gerbang sekolah. Senin, 7 Maret 2016 lalu Tempo mengikuti kegiatan Siti ke sekolah.
Sudah belasan tahun perempuan yang usianya memasuki kepala empat itu mengabdi sebagai guru di Madrasah Tsnawiyah Yaketunis Yogyakarta. Ada tiga mata pelajaran yang ia ajarkan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), dan olahraga. MTs Yaketunis yang berlokasi sekitar 150 meter selatan Pojok Beteng Wetan ini merupakan sekolah inklusi. Artinya, mata pelajaran yang diajarkan berdasarkan kurikulum sekolah umum. Tidak ada perbedaan bobot, tidak ada kemewahan atau keistimewaan yang diterapkan kepada muridnya.
Mendidik belasan sampai puluhan murid yang sama-sama menyandang tuna netra menuntut kesabaran tingkat dewa. “Satu per satu murid didatangi dan dipastikan mereka melakukan gerakan senam dengan benar,” tutur ibu dari Fadil Rahmat Ramadhan ini menjelaskan cara mengajar olahraga. Mereka tidak bisa melihat seperti orang kebanyakan, ketika tangan direntangkan panjang-panjang, pendek-pendek, maka Siti pun memegang tangan muridnya dan menunjukkan pola gerakan. “Itu baru satu gerakan,” lanjutnya sambil tertawa.
Menjadi guru merupakan salah satu keinginannya sejak kecil. Anak bungsu dari 9 bersaudara yang berasal dari keluarga petani tanpa sawah di Kutoarjo ini lahir normal. Matanya awas. Dia bercerita pada usia 3 tahun menderita penyakit gabag. Oleh mantri setempat, ia disuntik. “Padahal katanya kalau sakit gabag tidak boleh disuntik,” ujarnya mengulang ucapan orangtua zaman dahulu.
Tumbuh sebagai gadis tuna netra tidak pernah memadamkan semangatnya yang berkobar setiap mendengar kata sekolah. Rasa iri terselip di hatinya ketika harus menyaksikan seluruh kakaknya bisa berangkat dan pulang sekolah seperti halnya teman-teman sepermainannya. Siti cilik kerap berdiri di depan pintu kelas sekolah yang dekat dengan rumahnya. Ia mendengarkan guru mengajar. Ia tidak bisa bergabung, karena sekolah di desa tidak memiliki guru yang mampu melayani siswa berkebutuhan khusus sepertinya.
Ditolak jadi PNS, ia memutuskan untuk mengajar di Yaketunis, sekolahnya dulu. Menurutnya, tidak masalah menjadi guru dimana pun sebab yang terpenting bisa mengajar dan mendidik murid sehingga mereka menjadi manusia yang mandiri. “Apalagi bagi penyandang disabilitas, jangan sampai malu bersekolah hanya karena keterbatasan fisik, agar kelak tidak bergantung dengan orang lain,” ucap Siti.
SWITZY SABANDAR