TEMPO.CO, Yogyakarta - Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada 2017 mendatang, sekelompok warga Yogyakarta mulai menjaring nama-nama yang dicalonkan melalui jalur independen. Minggu, 20 Maret 2016, mereka mendeklarasikan sebuah gerakan Jogja Independent atau disingkat Joint.
Dalam deklarasi yang dilakukan di pinggir Kali Code itu hadir sejumlah seniman, mantan politikus, aktivis, hingga budayawan di Yogyakarta. Deklarasi itu dilakukan dengan lesehan, penuh guyon namun serius di sebuah ruang semi terbuka berdinding batako, yang menjadi bagian dari warung Angkringan Code milik warga.
Dalam deklarasi itu, hadir mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, sineas Garin Nugroho, budayawan seperti Butet Kartardjesa, Ong Hari Wahyu, juga Djaduk Ferianto.
Setidaknya ada 30 nama kandidat independen yang berhasil dijaring tim. Para tokoh itu, masing-masing diberikan formulir tentang kesediaan untuk dicalonkan. Bersedia atau tidak, formulir itu akan ditenggat hingga 30 Maret mendatang. "Sampai sekarang memang baru ada 30 nama yang diusulkan ke tim relawan, tapi kami masih membuka terus sampai 30 Maret nanti, siapa yang bersedia," ujar Koordinator Relawan Jogja Independent Herman Dodi.
Herman menuturkan, gerakan Jogja Independent ini muncul sebagai bentuk kepedulian masyarakat agar memperoleh pemimpin yang berpihak rakyat dan tak terkooptasi kepentingan partai politik pengusungnya. "Gerakan ini nantinya menjadi integrasi kekuatan kampus dan kampung, kami akan menggalang akademisi, mahasiswa, menjadi relawan termasuk melakukan survei," ujarnya.
Sineas Garin Nugroho sendiri hanya tertawa ketika ditanya kesediaannya untuk maju sebagai calon Wali Kota Yogyakarta sebagai calon independen. "Kalau masyarakat pendukung independen memang menghendaki ya saya tak masalah (untuk bertarung dalam pilkada kota Yogya)," ujar Garin.
Namun, ujar Garin, yang justru diharapkannya dengan ikut turun dalam gerakan ini yakni terjadi sebuah tradisi baru yakni terwujudnya konsultasi publik secara intens dengan calon walikotanya. "Komunikasi pemimpin dan rakyatnya tidak hanya berhenti saat pilkada, ini yang paling krusial untuk dibenahi, karena calon dari parpol biasanya hanya seperti itu," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO