TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Subkondisi Pemantau dan Penyelidikan Komisi Nasional HAM, Siane Indriani, mengatakan belum ada satu lembaga negara pun yang menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Siyono sejak dia menghilang dari rumahnya pada Selasa dua pekan lalu. Belakangan, Siyono dipulangkan dalam kondisi sudah tidak bernyawa.
“Sampai sekarang tidak ada surat perintah penangkapan," kata Siane Indriani. "Siapa yang menangkap Siyono, benarkah anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror? Dibawa ke mana dia? Ini semua belum jelas. Belum ada yang bertanggung jawab.”
Siyono adalah warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Seusai menunaikan salat Maghrib di masjid samping rumahnya pada Selasa dua pekan lalu, lelaki 33 tahun itu dijemput tiga lelaki yang diduga anggota Densus 88. Empat hari berselang, jenazah ayah lima anak itu dipulangkan dari RS Polri Jakarta dalam kondisi mengenaskan.
Markas Besar Kepolisian mengidentifikasi Siyono bergabung dengan kelompok terbaru dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan memiliki peran sekelas panglima aktif yang menggerakkan kelompoknya menyuplai senjata. “Komnas HAM tidak membela teroris, tapi membela hak-hak seseorang yang baru dianggap terduga teroris,” kata Siane.
Guna mengungkap dugaan pelanggaran HAM di balik kematian Siyono, Siane menemui keluarga Siyono pada Senin lalu. Namun dia enggan membeberkan hasil wawancaranya dengan keluarga Siyono yang selama ini menutup diri dari wartawan. “Itu semua jadi catatan dan akan kami evaluasi. Kami membantu pihak keluarga yang menuntut proses hukum seadil-adilnya,” kata Siane.
Saat ditemui Tempo, Selasa pekan lalu, kakak Siyono, Wagiyono, menyatakan pihak keluarga telah mengikhlaskan kematian adiknya karena sudah menjadi Qodarullah (takdir Allah). “Kedua orang tua kami sudah tidak sanggup kalau prosesnya (mencari keadilan) bertambah panjang lagi,” kata Wagiyono, yang juga Ketua RT 11 RW 5 Dukuh Brengkungan.
Menurut Siane, ada situasi di mana keluarga terduga teroris tidak berani secara terang-terangan karena mendapat tekanan meski tidak secara terbuka. “Tiap keluarga terduga teroris punya cara berbeda untuk mengatasi rasa takut. Kami sudah hafal. Jadi harus dibedakan mana yang terucap dan yang tidak terucap,” kata Siane.
Selain mengikhlaskan kematian Siyono, kepada Tempo, Wagiyono menyatakan menolak jenazah Siyono diautopsi. “Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak jenazahnya masih di RS Polri Jakarta. Kalau sudah dikubur baru akan diautopsi untuk apa? Sudah terjadi, ya sudah,” kata Wagiyono.
Menanggapi pernyataan Wagiyono, Siane berujar, Komnas HAM tidak memerlukan pernyataan keluarga korban apakah menuntut atau tidak menuntut. Sebab, kasus penghilangan orang secara paksa bukanlah delik aduan.
Bagaimana kalau polisi juga menolak mengautopsi jenazah Siyono, Siane menjawab, “Autopsi itu kepentingan polisi untuk menjawab semua keraguan. Tidak gampang orang mati seenaknya, harus ada penjelasan medis dan akademis. Jangan melindungi oknum yang bersalah. Kalau polisi menolak autopsi tidak masalah, tapi akan terus menyisakan keraguan. Kita tantang, berani jujur itu hebat,” kata Siane.
DINDA LEO LISTY