TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Yayasan Restorasi Mangrove Indonesia Nurul Ikhsan mengatakan keberadaan pulau reklamasi akan mengganggu kawasan hutan mangrove. Padahal, tanpa pulau reklamasi pun, kawasan bakau di Jakarta sudah kritis. “Yang pertama kali dihancurkan dari reklamasi adalah hutan mangrove,” kata Ikhsan saat ditemui di pulau reklamasi, Jakarta, Minggu, 17 April 2016.
Menurut Ikhsan, dari total bentang pesisir Jakarta yang panjangnya 35 kilometer, kawasan mangrove hanya menempati sebagian kecil wilayah teluk. Kawasan pesisir Jakarta ini membentang dari Marunda hingga ke Pantai Indah Kapuk. Saat ini kawasan mangrove hanya berada di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang merupakan kawasan konservasi.
Baca: FEATURE: Segel Nelayan di Pulau G
Kondisi hutan bakau di Teluk Jakarta bisa dibilang cukup mengkhawatirkan. Ikhsan mengatakan saat ini luasan mangrove telah jauh berkurang sejak zaman belanda. Pada zaman Belanda, luasan hutan mangrove mencapai 42 ribu hektare, tapi saat ini luasannya lebih-kurang hanya 4 ribu hektare. “Kalau idealnya kan bentang hijau sepanjang pesisir, tapi sekarang justru hanya sekitar 15 persen yang berupa hutan mangrove,” ujarnya.
Pertumbuhan mangrove, menurut Ikhsan, akan terganggu dengan adanya pulau reklamasi. Pasalnya, pertumbuhan bakau sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Selain itu, sampah dan limbah akan turut mempengaruhi bakau ini.
Baca: Gara-gara Reklamasi, Jumlah Elang di Kepulauan Seribu Kritis
Keberadaan pulau reklamasi, menurut Ikhsan, akan mengganggu arus laut sehingga pasang surut pun terganggu. Bakau akan tumbuh baik jika pasang surut stabil. Nantinya, kata Ikhsan, kawasan pesisir Jakarta akan menjadi comberan besar. Air laut justru akan semakin tinggi yang akibatnya mempengaruhi pertumbuhan bakau. “Ketika diuruk, ibarat baskom diisi pasir, akhirnya air laut akan semakin tinggi,” ucapnya.
Ikhsan mengatakan luasan hutan bakau pada zaman Belanda mencapai 42 ribu hektare. Hal ini karena Belanda sadar bahwa kawasan Jakarta rentan terendam akibat penurunan muka tanah dan masuknya air laut ke daratan. Karena itu, Belanda menjadikan mangrove sebagai benteng alami untuk menahan masuknya air laut ini.
Baca: Hitung-hitungan Ahok Kenapa Reklamasi Untungkan Jakarta
Alih-alih melanjutkan program Belanda ini, kebijakan pemerintah provinsi justru tak berpihak pada ekosistem bakau. Hal ini terlihat dengan terpusatnya kawasan mangrove hanya di daerah PIK. Di Marunda, tepatnya di belakang rusun Marunda, hanya ada mangrove dengan luasan terbatas, yang merupakan program dari yayasan ini yang sudah berjalan selama 4 tahun. "Kalau ada pemerintah provinsi menanam di situ, saya pasti tahu, tapi ini tidak ada," kata Ikhsan.
Saat ini di kawasan pesisir Jakarta terdapat beberapa jenis bakau yang mendominasi. Jenis ini di antaranya Bakau (Rhizopora Sp), Api-api (Avicennia Sp), Bruguiera Sp, dan Sonneratia Sp. Namun kini, menurut Ikhsan, banyak mangrove yang sudah hilang akibat pembangunan. Beberapa yang masih bertahan di antaranya Bakau (Rhizopora Sp), dan Api-api (Avicennia Sp).
Baca: Nelayan Jakarta Kepung dan 'Segel' Pulau Reklamasi
Keputusan perizinan pulau reklamasi dikeluarkan pada era Presiden Soeharto. Melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, pemerintah melegalkan izin pulau reklamasi. Meski kepres ini telah dicabut, perizinan dinyatakan masih berlaku. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga mengeluarkan empat izin untuk empat pulau reklamasi, yakni Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, Pulau I kepada PT Jaladri Pakci, Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, dan Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Saat ini beberapa pulau, termasuk Pulau G, sudah dalam tahap pengurukan. Untuk Pulau D bahkan sudah terdapat bangunan. Hal ini menyalahi aturan. Pasalnya, Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) dan rencana tata ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (RTRKSPJ) belum selesai dibahas di legislatif.
Baca: Pengamat: Ahok Berhak Lanjutkan atau Hentikan Reklamasi
Isu ini sempat mencuat di tahun 2003 saat Kementerian Lingkungan Hidup menggugat pulau reklamasi ini. Namun pengembang menggugat balik yang kemudian gugatannya dikabulkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada 2011.
Setelah berjalan tanpa kabar sejak 2012, beberapa pekan lalu Ketua Komisi D DPRD Mohamad Sanusi terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini terkait dengan suap untuk memuluskan dua Raperda yang tengah dibahas di legislatif.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI