TEMPO.CO, Jakarta - Paket kebijakan ekonomi sudah memasuki jilid ke-12. Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Perekonomian Edy Putra Irawady menilai paket kebijakan yang memiliki roh deregulasi akan terus berlanjut hingga dirasa perlu. Saat ditemui di kantornya, ia mengatakan, selain menghambat perlambatan ekonomi global terhadap Indonesia, tujuan lain deregulasi paket kebijakan ialah meningkatkan daya saing industri nasional.
“Industri kita sedang bermasalah karena ada banyak beban,” kata Edy di Jakarta, Selasa, 26 April 2016. Beban yang dimaksudkan ialah berlapis-lapisnya aturan, perizinan, dan birokrasi. Di sisi lain, tidak ada nilai tambah dari produk industri yang dihasilkan. Selama ini Indonesia mengandalkan ekspor komoditas atau berbasis sumber daya alam, seperti minyak, batu bara, dan mineral.
Di tengah menurunnya harga komoditas, yaitu minyak mentah dan batu bara, ekspor Indonesia pun ikut tertekan. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, tren neraca perdagangan Indonesia cenderung stagnan. Sempat mengalami surplus US$ 26 miliar pada 2011, tapi tiga tahun berikutnya defisit sebesar US$ 1,6 miliar (2012), US$ 4 miliar (2013), dan US$ 1,8 miliar (2014). Kemudian surplus kembali pada 2015 sebesar US$ 7 miliar.
Nantinya, pemerintah ingin keluar dari ketergantungan ekspor berbasis komoditas dengan cara meningkatkan nilai tambah dari produk industri. “Investasinya kami buka dan perizinannya diringkas,” ucap Edy. Pemerintah memilih berjalan paralel. Di satu sisi, pemerintah akan memperbaiki sektor manufaktur dengan memberi kemudahan perizinan, di sisi lain diupayakan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Upaya meningkatkan kinerja industri terus berlanjut. Deregulasi peraturan tak hanya ada di paket kebijakan ekonomi I, tapi juga pada paket-paket lain. Contohnya ialah pemberian insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik Berikat bagi pelaku industri yang ada pada paket kebijakan jilid II.
Masih di paket jilid II, Badan Koordinasi Penanaman Modal telah melakukan perubahan dengan memangkas proses perizinan investasi menjadi tiga jam. Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan perizinan yang cepat itu hanya untuk proyek tertentu, yaitu dengan modal minimal Rp 100 miliar dan bisa menyerap seribu tenaga kerja.
ADITYA BUDIMAN