TEMPO.CO, London - Claudio Ranieri sendiri adalah pecinta seni-seni ternama, terutama lukisan dari karya Claude Monet, Vincent van Gogh, dan Pablo Picasso.
Dalam diskusinya dengan kepala koresponden sepak bola the Telegraph, Michael Hart, Ranieri mengatakan, "Picasso. Ya. Aneh tapi oke. Istriku adalah pakarnya, tapi saya suka seni terutama. Saya suka Van Gogh. Kami mengunjungi Tate Modern (galeri seni modern bertaraf internasional di London."
Ranie mengatakan tidak punya banyak waktu untuk bersantai. “Tapi, ketika saya bisa bersantai, saya suka membaca,” katanya.
Buku-buku yang dibacanya, terutama dalam kiprah pertamanya di Liga Inggris pada 2002, adalah yang berbahasa Italia. “Sebab saat itu, ketika terlalu lelah sehabis bekerja, saya juga terlalu lelah untuk belajar bahasa Inggris,” kata Ranieri.
Buku pertama yang dibaca Ranieri adalah karya wartawan asal Italia, Beppe Severgnini, berjudul Inglesi. Isi cerita buku karya Severgnini ini adalah semua hal tentang Inggris, apa yang membuat orang-orang Inggris itu tergerak melakukan sesuatu.
Buku kedua yang dibaca Ranieri adalah tentang kepemimpinan dan ditulis oleh mantan Walikota New York, Rudolph Giuliani.
Sedangkan buku ketiga yang dibaca Ranieri adalah buku kronik kehidupan seorang pendeta yang memiliki sebuah gereja di Napoli dan bekerja dengan anak-anak jalanan.
Buku yang ketiga juga bisa menggambarkan perjajalan karier Ranieri yang memang terkenal sebagai pelatih yang andal merevitalisasi sebuah klub. “Membangun kembali memang keahlian saya sejak menjadi pemain junior di Cagliari,” kata Ranieri.
Dan, tiga buku tersebut dibaca oleh Ranieri secara bergantian pada banyak kesempatan, persis seperti saat ia melakukan rotasi pemain dan membangun kembali 16 klub atau tim yang ditanganinya sebagai manajer.
Dari Vigor Lamezia pada 1986, Napoli, Fiorentina, Atletico Madrid, Yunani –untuk menyebut beberapa klub yang ditanganinya-, sampai Leicester City.
THE TELEGRAPH | GUARDIAN | PRASETYO