TEMPO.CO, Lumajang - Majelis hakim yang menyidangkan kasus pengancaman wartawan peliput Salim Kancil akhirnya menjatuhkan putusan hukuman penjara selama 18 bulan terhadap Holil alias Palil bin Putro, terdakwa dalam kasus ini. Putusan ini dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Lumajang, Selasa, 10 Mei 2016.
Majelis hakim yang diketuai Aji Suryo dengan dua anggotanya, Gede Agung Jiwandana dan Dwi Hartoyo, juga mengenakan denda Rp 500 juta atau pidana pengganti selama 1 bulan kurungan penjara. Menurut majelis hakim, terdakwa berbelit-belit dalam persidangan, dan ini menjadi salah satu hal yang memberatkan. Sedangkan yang meringankan, terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya. Selain itu, terdakwa adalah tulang punggung keluarga.
Putusan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pengancaman secara tertulis atau teror melalui media elektronik. Terdakwa dijerat Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 29 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Terkait dengan putusan tersebut, terdakwa menyatakan pikir-pikir. Adapun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir terkait dengan putusan majelis hakim. Sidang juga dihadiri dua dari tiga wartawan televisi yang menjadi korban pengancaman. Dua wartawan ini adalah Arif Ulin dan Iwan. Terkait dengan putusan tersebut, Iwan mengatakan dia menghormati putusan hakim.
"Bukan masalah puas atau tidak puas. Itu sudah merupakan keadilan," kata Iwan kepada wartawan saat menanggapi putusan pidana yang dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa.
Seperti diberitakan sebelumnya, tiga jurnalis televisi yang sehari-hari bertugas di Lumajang menerima ancaman tertulis atau teror melalui pesan elektronik. Salah satu ancamannya adalah para jurnalis itu akan dilempar bondet. Tiga jurnalis peliput kasus Salim Kancil ini kemudian melaporkan perihal ancaman tersebut ke Kepolisian Daerah Jawa Timur.
DAVID PRIYASIDHARTA