TEMPO.CO, Surabaya - Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam Tabusala, mengatakan pihaknya tetap bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya membayar ganti rugi kepada warga korban semburan lumpur Lapindo, khususnya yang berada dalam peta area terdampak. “Kami tetap pada komitmen membayar hak warga,” ujarnya melalui telepon selulernya, Minggu, 29 Mei 2016.
Darussalam diwawancarai Tempo berkaitan dengan 10 tahun tragedi semburan lumpur Lapindo yang terjadi 29 Mei 2006. Tragedi itu mengakibatkan warga dari delapan desa terusir dari kampung halamannya.
Menurut Darusalam, kewajiban PT Minarak masih tersisa 84 berkas. Namun dia lupa nilainya. Warga tersebut berada dalam peta area terdampak. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, ganti rugi terhadap aset warga berupa tanah dan bangunan menjadi tangung jawab PT Minarak, yang dibentuk sebagai anak perusahaan sekaligus juru bayar PT Lapindo Brantas Incorporation.
Darusalam menjelaskan, PT Minarak tidak bermaksud menghindari kewajiban. Setelah mendapat tambahan dana talangan dari pemerintah, ganti rugi itu segera dibayar. Namun, dia beralasan, yang justru menjadi masalah adalah dari sisi warga. Setidaknya tiga persoalan yang belum tuntas di internal warga.
Salah satunya adalah persoalan hak waris yang akan berkaitan dengan pembagian ganti rugi yang akan diperoleh. Masalah lainnya soal luas tanah yang berbeda antara yang dikemukakan warga dengan data yang dimiliki PT Minarak yang didasarkan pada hasil pengukuran Badan Pertanahan Nasional. Masalah ketiga adalah masalah status tanah yang juga berbeda antara data PT Minarak dengan yang disodorkan warga, yakni tanah basah atau sawah dengan tanah kering.
Darusalam meminta warga yang masih bermasalah dalam soal hak waris menyelesaikannya lebih dulu, yag diperkuat dengan akta notaris. PT Minarak hanya akan membayar kepada yang paling berhak. Sedangkan soal luas tanah, dia mengatakan tetap berpatokan pada data yang dimiliki PT Minarak. Adapun status tanah basah atau tanah kering, pihaknya berpatokan pada fungsinya saat terjadi semburan.
Tanah kering, seperti pekarangan rumah harga ganti ruginya Rp 1 juta per meter persegi. Sedangkan tanah basah, seperti sawah Rp 750 ribu per meter persegi. Akibat perbedaan harga itu, PT Minarak tidak akan mengganti rugi tanah yang diubah dari tanah sawah menjadi tanah kering. “Kalau tidak setuju pada data kami, silahkan ajukan gugatan ke pengadilan, termasuk masalah luas tanah maupun bangunan,” ujar Darusalam.
Sebelumnya, sekitar 30 orang warga korban lumpur Lapindo yang berada di dalam peta area terdampak mendesak PT Minarak segera melunasi pembayaran ganti rugi. Desakan disampaikan dalam aksi unjukrasa memperingati 10 tahun tragedi semburan lumpur Lapindo, Sabtu, 28 Mei 2016. Acara berlangsung di tanggul titik 21 di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Koordinator warga korban lumpur, Abdul Fattah, mengatakan jumlah warga di dalam peta are aterdampak yang ganti ruginya belum dilunasi sebanyak 150 berkas. "Sebagian berkas warga baru dibayar 20 persen dan sebagian lainnya belum dibayar sama sekali," kata dia dalam orasinya.
Menurut Fattah, dari 150 berkas itu, 25 berkas di antaranya belum dibayar seperserpun. 25 berkas itu tidak tercantum dalam 3.331 berkas yang masuk dalam dana talangan senilai Rp 781 miliar yang diberikan pemerintah kepada PT Minarak.
Badan Penanggulan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat warga di dalam PAT yang belum lunas dibayar ganti ruginya 84 berkas. Selain itu, masih ada 21 berkas warga di dalam PAT yang belum terbayar sama sekali. Berkas itu tidak termasuk 3.331 berkas yang mendapat dana talangan pemerintah. "Total 21 berkas itu sebesar Rp 1,7 miliar," kata Humas BPLS, Khusnul Khuluk.
Sedangkan di luar peta area terdampat masih 752 berkas, yang menjadi tanggung jawab pemerintah melalui BPLS. Nilainya mencapai Rp 360 miliar.
JALIL HAKIM | NUR HADI