TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam pengekangan yang sering dialami oleh pers mahasiswa. “Hal ini menyusul maraknya pengekangan kebebasan berekspresi di ranah akademik dan ruang publik oleh kelompok-kelompok antidemokrasi,” kata Sekretaris Jenderal PPMI, Abdus Somad, Minggu, 29 Mei 2016.
Somad menyebutkan kasus-kasus yang terjadi meliputi pelarangan berpendapat hingga pembredelan media pers mahasiswa. Jurnalis mahasiswa juga kerap mengalami intimidasi. Tak hanya itu, kerap kali acara diskusi maupun pemutaran film sejarah di wilayah perguruan tinggi yang diadakan oleh pers kampus dilarang.
PPMI mencatat ada 47 kasus kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa selama 2013-2016. Pelaku kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa berasal dari aparatus keamanan negara, birokrasi kampus, dan instansi pemerintah lainnya.
“Buruknya kebebasan berekspresi di Indonesia perlu disikapi secara serius,” ujar Somad. Dengan demikian, ia berharap kelompok-kelompok yang mencederai semangat berdemokrasi tidak lagi berlaku sewenang-wenang.
Menurut Somad, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan Pasal 28 ayat 2 dan 3, serta Pasal 28 F sebagai jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat. "Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 pada Pasal 8 dan 9 yang menjelaskan bahwa pemimpin perguruan tinggi bertanggung jawab melindungi kebebasan mimbar akademis dan otonomi keilmuan," kata dia.
Sebab itu, Somad mengimbau awak pers kampus agar memperkuat simpul jaringan dan kekuatan untuk melawan segala bentuk kekerasan dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Selain itu, menerapkan konsep berjejaring dan saling menguatkan sebagai upaya membangun semangat pers mahasiswa.
MAYA AYU PUSPITASARI