TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Eden Hazard dinobatkan sebagai the man of the match dalam pertandingan Euro 2016 antara Belgia dan Swedia, La Louviere tiba-tiba bermandikan cahaya. Asap dan cahaya hitam-kuning-merah melayang di udara. Desa kecil di Provinsi Hainaut, Wallonia, yang biasanya lengang, pada Rabu malam lalu menjadi begitu hidup dan berwarna.
Place Communale, yang sejak 10 Juni lalu berubah julukannya menjadi Village de L’Euro (Desa Euro)—tempat acara nonton bareng berlangsung nonstop sejak hari pertama Euro 2016, pada malam itu dipenuhi lebih dari 5.000 orang.
“Setiap kali Belgia atau Italia bertanding, Village de L’Euro pasti dibanjiri orang,” kata Chintya Guissard, pemilik kafe di depan kantor pemerintah La Louviere, tempat Village de l’Euro dibangun.
Louviere adalah tempat menetap para imigran Italia bekas pekerja tambang. Sebelumnya, ketika Belgia kalah oleh Italia, suasana di sana berbeda. Warga yang masih punya ikatan dengan leluhurnya dari Italia terlibat perang mulut dengan suporter Belgia. “Lebih banyak saling mengejek daripada bentrok,” ujar Chintya.
Suasana pada Rabu lalu berubah 180 derajat. Semua orang kompak mendukung Belgia. Apalagi ketika mereka menang dan Eden Hazard dinobatkan sebagai pemain terbaik. Penduduk La Louviere bersorak-sorai, melompat-lompat, bahkan sebagian meneteskan air mata.
“Eden adalah putra daerah ini. Kami sering melihatnya di mana-mana waktu kecil hingga remaja. Sampai sekarang pun ia sesekali datang ke sini mengunjungi orang tuanya,” tutur Jean-Pascal, pria paruh baya penduduk La Louviere, dengan mata berkaca-kaca.
Thierry Hazard, ayah Eden, yang selalu datang ke Village de L’Euro setiap kali Belgia bertanding, juga terlihat terharu bahagia. “Sewaktu Eden harus menggantikan Vincent Kompany sebagai kapten Les Diables Rouges, banyak yang meragukan kemampuannya bisa menyamai Kompany. Dengan kemenangan ini, saya bersyukur akhirnya Eden bisa membuktikan diri,” ucap Thierry, yang juga mantan pemain bola di La Louviere.
Malam itu, seluruh Belgia kembali bersatu. Untuk sementara, mereka melupakan sejenak situasi politik dalam negeri yang terus-terusan labil dan terselimuti perang dingin antara Flemish, yang berbahasa Belanda di selatan, dan Wallonia, yang berbahasa Prancis di utara. Semuanya demi membela Les Diables Rouges. Di La Louviere, bahkan imigran Italia pun merasa memiliki Eden Hazard.
ASMAYANI KUSRINI (BRUSSELS)