TEMPO.CO, Manila - Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menepati janjinya untuk segera menemui Menteri Luar Negeri Filipina yang baru untuk membahas pembebasan tujuh warga negara Indonesia yang disandera militan Abu Sayyaf di Filipina Selatan.
Sehari setelah pelantikan, Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Rivas Yasay, Jr. menerima kunjungan Retno di Manila, Jumat, 1 Juli 2016. Retno bukan saja menteri luar negeri pertama, tetapi juga tamu asing pertama (foreign dignitaries) yang menggelar pertemuan dengan Yasay.
“Pertemuan dengan Menlu Yasay sangat penting artinya untuk melanjutkan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Filipina dalam upaya pembebasan sandera,” kata Retno seperti disampaikan dalam rilis Kementerian Luar Negeri RI yang diterima Tempo, Jumat.
Retno memastikan bahwa kerja sama baik yang telah terjalin dengan pemerintahan sebelumnya akan diteruskan. Kedua menlu sepaham untuk mengintensifkan komunikasi dalam rangka pembebasan sandera secara langsung (hotline communication).
Kepada Yasay, Retno menegaskan bahwa penyanderaan tidak dapat ditolerir dan meminta pemerintah Filipina untuk menjamin keamanan di wilayah perairan Laut Sulu, tempat terjadinya sejumlah penculikan dan penyanderaan terhadap kapal dan WNI. Retno juga menekankan bahwa prioritas pemerintah Indonesia saat ini adalah keselamatan ketujuh WNI yang hingga kini masih disandera.
Menanggapi permintaan Indonesia, Yasay menggarisbawahi komitmen kuat dari pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte yang akan berupaya keras mengakhiri tindakan kriminal yang sering terjadi di laut Sulu.
Terkait pembebasan ketujuh WNI, Yasay memastikan bahwa Pemerintah Filipina akan melakukan berkoordinasi erat dengan otoritas Indonesia.
Kedua menteri juga sepakat untuk mendorong agar kerja sama konkret untuk mengamankan Laut Sulu akan segera dilakukan melalui penetapan koridor jalur laut (Sea Lane Corridor).
Kerja sama itu dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan patroli perbatasan (Border Patrol Agreement) yang disepakati kedua negara pada 1975. Juga hasil pertemuan trilateral antara para menlu dan menteri pertahanan Indonesia, Filipina dan Malaysia di Yogyakarta pada 5 Mei 2016 serta pertemuan kedua menteri pertahanan di Manila pada 26 Juni 2016.
Perairan Sulu sangat penting artinya bagi lalu lintas perdagangan batubara antara Indonesia dengan Filipina. Hampir 96 persen kebutuhan batubara Filipina Selatan dipasok dari Indonesia. Karena itu kerja sama kedua negara untuk menghindari kemungkinan berulangnya penyanderaan sangat penting.
Selain isu penyanderaan dan pengamanan Laut Sulu, kedua menlu juga menyepakati pertemuan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) pada paruh kedua 2016. Dimana pertemuan JCBC terakhir dilakukan pada 2014.
Kedua negara juga sepakat agar negosiasi penyelesaian batas landas kontinen antara kedua negara dapat dipercepat. Indonesia mengusulkan agar pertemuan inter-session gugus tugas gabungan permanen soal maritime dan lautan (Joint Permanent Working Group on the Maritime and Ocean Concerns) dapat dilakukan dalam waktu dekat.
Indonesia juga menyampaikan harapan agar proses ratifikasi kesepakatan perbatasan zona ekonomi eksklusif (Agreement on the Maritime Boundary Delimitation of the Exclusive Economic Zone) juga dapat dipercepat penyelesaiannya.
Dalam hubungan perdagangan, nilai perdagangan Indonesia dan Filipina mencapai US$ 4,6 miliar dengan surplus berada di pihak Indonesia (lebih dari US$ 3,19 miliar).
NATALIA SANTI