TEMPO.CO, Malang - Dua hari lagi Eni Lestari Andayani Adi menjadi tenaga kerja wanita Indonesia pertama yang berpidato dalam sesi pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Migran dan Pengungsi (High Level Summit on Migrant’s and Refugees) ke-71 di New York, Amerika Serikat, pada 19 September 2016.
Eni Lestari berasal Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang hampir 17 tahun bekerja di Hong Kong. Dia aktif di banyak organisasi buruh migran, antara lain Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong dan kini mengetuai International Migrant’s Alliance atau IMA.
IMA merupakan aliansi formal buruh migran yang terbentuk di Hong Kong pada 2008 dan kini beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 32 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
“Saya diberi waktu 3 menit untuk berpidato dalam sesi opening KTT PBB, bergantian dengan dua aktivis HAM dari Irak dan Suriah. Kami akan berpidato dalam perspektif perbudakan dan perdagangan manusia (human trafficking), serta pengungsi,” kata Eni Lestari kepada Tempo, Sabtu, 17 September 2016.
Nantinya Eni tampil bergantian dengan aktivis dari Irak (Nadia Murad Basee Taha alias Nadia Taha) dan Suriah (Mohammed Badran), yang masing-masing bekerja di Jerman dan Belanda.
Nadia mewakili Yazda, organisasi global etnis Yazidi yang berbasis di Amerika Serikat. Sedangkan Badran mewakili Syirian Volunteers in the Netherland atau SYVNL. Nadia dan Badran juga mendapat waktu tiga menit untuk berpidato.
Pidato mereka akan disaksikan 1.900 hadirin, yang terdiri dari para pemimpin PBB, kepala negara, menteri, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi internasional, dan akademisi.
Eni mengatakan, dia akan menyuarakan tiga isu, yaitu menuntut semua negara mengutamakan hak dan kesejahteraan buruh migran, negara penerima buruh migran diminta tidak menempatkan mereka sebagai masyarakat kelas dua, serta negara pengirim jangan membiarkan praktek ekploitasi dan perdagangan manusia (human trafficking) terhadap buruh migran.
Menurut Eni, selama ini buruh migran mengalami diskriminasi dan terisolasi. Diskriminasi membuat buruh migran—bukan hanya buruh migran Indonesia—sering mengalami kekerasan fisik dan bahkan sampai dibunuh.
Banyak buruh migran yang hidupnya terkungkung oleh beban kerja yang sangat berat dan cenderung tidak manusiawi sehingga mereka sangat kesulitan mendapat kesempatan untuk berkumpul bersama teman-temannya.
Ketidakberdayaan buruh migran merupakan akumulasi dari praktek jahat perdagangan manusia yang dilakukan perusahaan pengirim dan agennya. Parahnya, para buruh migran yang tak berdaya justru dimanfaatkan sindikat narkoba.
Sindikat ini menawarkan sejumlah uang agar sang buruh migran bisa melunasi utang-utang, misalnya. Sebagai imbalan, si buruh migran dirayu dan bahkan dipaksa melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak mereka ketahui. Mereka dijebak.
Eni Lestari dan kawan-kawan sudah mencoba menguak kebusukan perusahaan pengirim dan agen, serta sindikat narkoba, dengan terus mengadvokasi kasus Mary Jane Veloso, terpidana mati asal Filipina, dan Merry Utami, terpidana mati asal Indonesia. Mereka buruh migran yang diduga kuat menjadi korban dalam kasus perdagangan narkotika antarnegara.
ABDI PURMONO