TEMPO.CO, San Francisco - Dua nelayan Indonesia berhasil melarikan diri dari perbudakan kapal tuna yang berbasis di Honolulu, Amerika Serikat. Abdul Fatah dan Sorihin kabur saat kapal berlabuh di Fisherman Wharf, San Francisco, Amerika Serikat.
Pengacara keduanya menyatakan mereka kini tengah menggugat pemilik kapal. Selain merasa tertipu sehingga menerima pekerjaan berbahaya, Abdul Fatah dan Sorihin juga tidak diperbolehkan meninggalkan kapal selama lebih dari tujuh tahun.
"Saya minta kompensasi ada penderitaan yang saya rasakan di atas kapal dan penderitaan yang saya alami setelah turun dari kapal," kata Sorihin lewat penterjemah di kantor pengacara San Francisco seperti dikutip Associated Press, Kamis, 22 September 2016.
"Saya harap tidak ada lagi yang menderita seperti saya." Keduanya kini mendapat visa bagi korban perdagangan manusia dan tinggal di wilayah San Francisco.
Menurut pengacara, keduanya direkrut di Indonesia tujuh tahun lalu tanpa tahu bakal tidak diberi izin keluar dari kapal. Dalam gugatan disebutkan bahwa pemilik dan kapten kapal Sea Queen II bernama Thoai Nguyen, warga San Jose, California memaksa Sorihin dan Fatah untuk bekerja dalam 20 jam.
Baca Juga:
Keduanya tidak diberi tunjangan medis dan diancam harus membayar ribuan dolar jika ingin meninggalkan kapal sebelum masa kontrak berakhir. Nguyen dituntut untuk membayar utang, gaji dan kompensasi atas penderitaan mental dan fisik, namun tidak ada angka yang disebutkan.
Sorihin dan Fatah mengungkapkan bahwa mereka menandatangani kontrak yang menjanjikan gaji US$ 350 (Rp 4,57 juta) per bulan ditambah bonus. Mereka meminjam US$ 300 (Rp 3,92 juta) untuk membayar agen di Jakarta.
Keduanya diterbangkan dari Jakarta ke Singapura, lalu Sydney, ke Fiji dan Pago-pago, Samoa, Amerika. Perjalanan 12.500 mil yang melelahkan.
Para nelayan kerap harus berenang dari satu kapal ke kapal lain sebelum berlayar menuju Honolulu untuk mencari ikan. Hal ini untuk menghindari biaya docking.
Situasinya terus memburuk. Pernah suatu hari, Sorihin harus bergumul melawan ikan hiu di dalam kapal Sea Queen. Tali pancingan melilit jari hingga hampir mematahkannya. Bukannya diobati secara medis, kapten kapal hanya mengikatnya dengan sumpit lalu menggosokkan jahe dan madu ke atasnya.
Kali lain, Sorihin kena sabetan kabel hingga bahunya retak. Bengkak dan sangat sakit, dia hanya diberi izin istirahat selama dua jam. Pernah juga seekor ikan todak (swordfish) mengiris wajahnya saat ditarik ke kapal.
Kapten kapal sering melontarkan kata-kata kasar. Mereka hanya diberi pelindung yang usang dan robek-robek. Ada alat pelindung yang masih baru di kapal, tapi si kapten bilang mereka harus membelinya. Keduanya diminta untuk ke dokter berulang kali, tapi diberitahu bahwa mereka tidak memiliki asuransi kesehatan. "Jika saya tetap tinggal di kapal, saya akan mati," kata Sorihin.
Mereka bekerja mulai pukul enam pagi hingga enam sore tanpa istirahat. Setelah itu, diberi makan dan beberapa jam istirahat. lalu bekerja lagi. Setelah beberapa kali berlayar, tiga kerabat kapten ikut bergabung sebagai awak kapal.
"Keponakan kapten membangunkan saya dengan cara menendang dengan kakinya," kata Fatah.
Meskipun ada toilet di kapal, mereka harus mandi dengan ember plastik di dek. Uang beberapa ratus dolar per bulan tidak sebanding dengan penderitaan mereka.
Setelah 20 hari perjalanan dari Hawaii, mereka merapat di San Francisco sekali sebulan. Mereka menatap dari dermaga Fisherman Wharf ke Scoma, sebuah restoran hidangan laut klasik di San Francisco.
Suatu hari, Fatah tersapu gelombang besar hingga mencapai pagar. Dia menggigil kedinginan, hingga menangis dan berpikir bahwa itulah akhir hidupnya. Kapten kapal menyuruh mereka pulang tapi harus membayar US$ 6.000. Menurut kapten, itu biaya yang dia keluarkan untuk membawa mereka ke sana.
Akhirnya mereka berencana untuk kabur. Sebelum fajar, enam tahun yang lalu, saat kapten pergi dan awak kapal lainnya tidur karena mabuk. Sorihin dan Fatah menyelinap ke kamar pribadi lalu mengambil paspor mereka, lalu berlari menuju San Francisco dan naik kereta ke selatan menuju San Jose.
Mereka minta bantuan pada kenalannya, warga Indonesia. Pria itu lalu membantu mereka, membawanya ke Gereja Katolik, sebuah penampungan, pekerja sosial lalu ke pengacara imigrasi.
Keduanya kini bekerja di dua tempat. Sebagai staf administrasi di toko minuman, dan menjadi sopir penyewaan. Fatah menjadi pegawai sebuah pusat perbelanjaan. Tidak jauh dari Fisherman Wharf.
Awal tahun ini, sebelum mengajukan gugatan, mereka melihat foto-foto Sea Queen II dan mantan kapten mereka. "Itu dia," kata Sorihin sambil menggelengkan kepala saat ditanya apakah dia mau melihat kapal itu. "Saya takut pada pria ini."
Gugatan diajukan dua minggu setelah investigasi Associated Press menemukan sekitar 140 kapal ikan yang berbasis di Honolulu, termasuk Sea Queen II memiliki ratusan awak kapal dari negara-negara miskin di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Hasil tangkapan mereka dijual di pasar-pasar dan restoran kelas atas di Amerika Serikat.
Celah hukum memungkinkan mereka bekerja tanpa visa selama mereka tidak menginjak kaki di pantai. Sistem ini difasilitasi sejumlah badan Amerika Serikat seperti US Coast Guard, juga Customs and Border Protection, yang mengharuskan para pemilik kapal memegang paspor pekerjanya.
Investigasi AP menemukan beberapa orang hanya dibayar 70 sen per jam. Juga menggunakan ember sebagai pengganti toilet. Banyak yang menderita luka-luka akibat kutu di tempat tidur, dan kadang tidak diberi makan secukupnya.
ASSOCIATED PRESS | NATALIA SANTI
Baca:
Afganistan Berdamai dengan Kelompok Militan Terbesar Kedua
Korea Selatan Berencana Bunuh Pemimpin Korea Utara