TEMPO.CO, Purwakarta - Para pelajar dan aparatur sipil negara (ASN) di Purwakarta, Jawa Barat, diwajibkan memakai sarung dan kopiah saat pergi ke sekolah dan ke kantor saban Jumat setiap pekannya.
"Terhitung sejak 1 Desember 2016," kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, kepada Tempo, seusai memimpin peringatan Hari Santri di Pasanggrahan Pajajaran, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Baca:
Menteri Ini Ingatkan Muslim: Babi, Alkohol Bebas di Norwegia
Data TPF Munir Hilang, Istana Izinkan Jaksa Periksa SBY
Pelajar SMA Bengkulu Temukan Obat Pencegah Kanker Payudara
Bersamaan dengan itu juga diberlakukan program "Pelajar Purwakarta Mengaji", di mana setiap siswa SD hingga SMP wajib mengikuti pengajaran Al-Quran dan Kitab Kuning untuk yang beragama Islam dan kitab lain buat pelajar beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Adapun buat para pelajar dan ASN nonmuslim, seperti Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, Dedi mempersilakan mereka mengenakan sarung khas Indonesia atau pakaian yang melambangkan nilai spiritualitas agamanya masing-masing.
Menurut Dedi, momentum peringatan Hari Santri sangat tepat dijadikan pendeklarasian kewajiban mengenakan sarung dan kopiah hitam buat para pelajar dan ASN tersebut.
Dedi mengungkapkan, sarung merupakan identitas keislaman Nusantara sehingga penggunaan sarung akan membangkitkan suasana pesantren dan nilai-nilai santri di kalangan para pelajar dan pegawai pemerintahan.
Menurut Dedi, sarungan itu khas Indonesia, khas Nusantara. Di komunitas Sunda ada istilah samping atau sinjang untuk sarung, sedangkan daerah lain kemungkinan memiliki istilah sendiri.
"Semua memiliki kekhasannya tersendiri. Tetapi memiliki kesamaannya yang satu, tetap sarungan. Maka sarung dalam hal ini merupakan simbol persatuan bangsa," kata Dedi.
Kecuali itu, karena menjadi simbol persatuan bangsa, sarung telah menjadi spirit perlawanan terhadap kolonialisme bangsa asing. Dia menilai, menggunakan sarung sama saja dengan menginternalisasi nilai-nilai nasionalisme.
“Perang melawan kolonialisme di masa zaman penjajahan dulu itu digerakkan oleh kaum sarungan. Ini luar biasa, nasionalisme mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka ajek menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia," tutur Dedi.
Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Purwakarta KH Abun Bunyamin mengatakan momentum Hari Santri Nasional harus menjadi spirit untuk mengaplikasikan Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari saat mempertahankan Indonesia dari rongrongan penjajah.
Menurut Kiai Abun, hakikat Resolusi Jihad tersebut adalah kepemimpinan dan persatuan sebagaimana filosofi sarung yang dikemukakan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Generasi Kiai Hasyim, kata Abun, berjuang melawan kolonialisme. "Hari ini sudah saatnya para santri berdikari, melawan penjajahan ekonomi-budaya dengan mempererat persatuan dan kepemimpinan. Santri bukan hanya pemimpin bagi dirinya, tetapi juga pemimpin bagi masyarakat," ujarnya.
Di Subang, puluhan ribu santri dari puluhan pesantren yang berbasis Nahdlatul Ulama, melakukan upacara peringatan Hari Santri di alun-alun Benteng Pancasila, yang dihadiri Plt Bupati Subang, Imas Aryumningsih, dan Ketua PCNU Subang KH Musfiq Amrullah.
Para santri melakukan atraksi kesenian marawis, kasidahan, dan selawatan ala kaum Nahdiyin. Di Alun-alun Kecamatan Tanjung Siang, 5.000 santri mengadakan aksi pembentangan kain serban sepanjang 1.000 meter.
KH Musfiq mengatakan Hari Santri merupakan hari sakral khusus bagi para santri, kiai, ustad, dan seluruh keluarga besar NU. "Momentum ini sekaligus pula sebagai pengingat sejarah bahwa bangsa ini turut didirikan oleh kaum santri sejak zaman penjajahan hingga kini," ujarnya.
NANANG SUTISNA