TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berkisah mengenai pengalaman menghadapi unjuk rasa selama sepuluh tahun masa pemerintahannya. Ia berujar, pihaknya selalu mengutus satu anggota staf untuk mencatat kritik dan saran yang disampaikan pendemo.
Presiden Republik Indonesia keenam ini menuturkan unjuk rasa bukan kejahatan politik. Unjuk rasa, ucap dia, adalah bagian dari proses demokrasi selama berlangsung tidak anarkistis. "Saya tidak alergi dengan unjuk rasa," katanya di Puri Cikeas, Bogor, Rabu, 2 November 2016.
Menurut SBY, selama masa pemerintahannya, unjuk rasa berskala kecil, sedang, dan besar pernah terjadi. Namun, meski kerap didemo, pemerintahannya masih bisa bekerja seperti biasa. "Pemerintahan kami tidak jatuh, ekonomi tumbuh, dan saya tetap bisa bekerja," ucapnya.
Pada masa pemerintahannya, ujar SBY, pihak intelijen tidak mudah memberi laporan sesuatu yang tidak akurat. Aparat yang menjaga aksi unjuk rasa juga tidak asal main tangkap dan tembak. "Ini bukan zaman otoriter."
Hal ini disampaikan SBY terkait dengan rencana unjuk rasa besar bertema Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016. Ia mengaku mendapat informasi perihal laporan intelijen yang menganggap ada tokoh dan partai yang menunggangi aksi ini.
SBY mengaku sebagai sosok yang tidak mudah mencurigai ada tokoh besar yang menunggangi unjuk rasa. "Sekarang, kalau ada info atau analisis intel seperti itu, berbahaya," tuturnya.
AHMAD FAIZ