TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Projo Guntur Siregar mengatakan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum bisa diusut tanpa aduan dari pihak yang dihina.
Menurut Guntur, aturan itu terdapat dalam Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi siapa pun yang sengaja menghina penguasa atau badan umum di Indonesia secara lisan atau tulisan diancam pidana 1 tahun 6 bulan penjara atau denda Rp 4.500. “Dalam pasal itu tidak disebutkan sebagai delik aduan yang diproses jika ada pengaduan dari penguasa tersebut,” ucap Guntur lewat keterangan tertulis, Kamis, 24 November 2016.
Guntur menjelaskan, laporan Projo ke Kepolisian Daerah Metro Jaya atas dugaan penghinaan oleh calon Bupati Bekasi, Ahmad Dhani, terhadap Presiden Joko Widodo dijamin dalam Pasal 207 KUHP. Pasal tersebut dinilai berbeda dengan pasal-pasal penghinaan lain, seperti Pasal 310, Pasal 311, 316, dan 319 KUHP.
Baca: Soal Orasi Ahmad Dhani, Jokowi: Perlu Ditindaklanjuti
Penjelasan Guntur ini menanggapi pihak Dhani yang menyatakan, dalam kasus ini, Jokowi yang harus mengadu, bukan pihak lain. Dua organisasi pendukung Jokowi, Projo dan Laskar Rakyat Jokowi (LRJ), mengadukan Dhani ke Polda Metro Jaya pada 5 November 2016 dengan tuduhan penghinaan terhadap Presiden.
Dhani terseret perkara itu akibat ucapannya saat ikut demonstrasi 4 November 2016 di depan Istana Kepresidenan. Dalam demonstrasi menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama diproses secara hukum dalam kasus dugaan penistaan agama tersebut, Dhani menggunakan kata kasar untuk mengkritik Jokowi.
Baca: Ahmad Dhani Bermasalah, Anaknya Dilarang Konser
Dalam beberapa rekaman video yang beredar, ia terekam menggunakan kata-kata an**** dan b*** yang ditujukan kepada Presiden. Video tersebut telah diunggah ke YouTube dan beredar luas di media sosial.
Simak: Jadi Saksi Kasus Ahmad Dhani, Eggy Sudjana Bingung
Guntur menuturkan, selain Pasal 207 KUHP, masih ada ketentuan lain mengenai penghinaan, di antaranya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XIII/2015 yang isinya hakim bisa mengabulkan permohonan para pemohon, Nomor 14/PUU-VI/2008, dan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. “Dari Putusan-putusan MK tersebut, tidak ada yang membatalkan Pasal 207 KUHP dan tidak ada yang memutuskan Pasal 207 KUHP dari delik biasa atau delik umum menjadi delik aduan,” ujar Guntur.
Pasal 207 KUHP bahkan pernah yang diuji materi tapi ditolak MK dalam perkara nomor 14/PUU-VI/2008. Dengan pertimbangannya, hakim MK menyatakan harus ada proses legislasi dulu untuk mengubah Pasal 207 KUHP dari delik biasa atau umum menjadi delik aduan. “Hal ini mengingat kewenangan MK yang merupakan kewenangan negative legislature dan bukan positive legislature,” tutur Guntur.
LARISSA HUDA