TEMPO.CO, Subang – Wilayah Subang, Jawa Barat, dinyatakan menjadi daerah darurat HIV/AIDS. Penyebaran virus HIV/AIDS yang cukup masif tersebut sudah merenggut ratusan nyawa.
”Sebanyak 120 penderita HIV/AIDS di Subang meninggal dunia,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Subang, Maxie, saat ditemui Tempo setelah melangsungkan peringatan Hari Aids Sedunia 2016, Senin, 5 Desember 2016.
Maxie mengungkapkan, hingga medio Juni 2016, jumlah penderita HIV/AIDS sudah mencapai 1.276 orang. Jika ditambah dengan yang sudah meninggal, totalnya mencapai 1.476 orang.
Baca:
Kepala Polri: Dugaan Makar Diperoleh dari Operasi Intelijen
Peraih Hadiah Nobel dari Tunisia: Akhiri Konflik Melalui Dialog
Kasus terakhir kematian pengidap HIV/AIDS di Subang menimpa anak perempuan usia di bawah umur. “Usianya baru 9 tahun, sudah beberapa kali dirawat di rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong,” ucap Maxie.
Menurut Maxie, dari 1.276 pengidap, 53 orang masih berumur di bawah 5 tahun. Lalu, ada 15 orang ibu hamil, lima di antaranya sudah berada di periode melahirkan. “Kami sedang menunggu kelahiran anak-anak itu, mudah-mudahan terlahir bebas dari HIV/AIDS,” tuturnya.
Maxie menyebutkan, penderita HIV/AIDS di daerahnya mayoritas perempuan pekerja seks, disusul ibu rumah tangga, pegawai negeri, TNI-Polri, mahasiswa, dan pelajar. Umur mereka rata-rata berada di kisaran 22-39 tahun, tapi ada juga yang sudah berusia 60 tahun.
Berkembang pesatnya penularan HIV/AIDS di Subang, menurut Maxie, di antaranya disebabkan oleh tumbuhnya industrialisasi, pariwisata, dan hadirnya tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang mendorong makin masifnya perilaku praktek seks bebas dan makin tingginya peredaran narkoba dari orang terlibat dalam tiga kegiatan tadi.
”Saat ini, kami menemukan 126 hotspot kondom yang tersebar di wilayah Pantai Utara (Pantura), tengah, dan selatan,” tutur Maxie.
Penyebaran HIV/AIDS di wilayah Subang paling subur berada di Kota Subang, Kecamatan Legon Kulon dan Patokbeusi. Semula, wilayah selatan masih bersih, tapi sekarang sudah mulai terserang.
Maxie menegaskan, perkembangan virus HIV/AIDS di Subang ibarat fenomena gunung es. “Makanya, meski yang tercatat ada 1.276 orang, yang tidak tercatat jumlahnya bisa mencapai 250 ribu orang,” ujarnya.
Buat mengantisipasi makin tingginya serangan virus HIV/AIDS, Maxie mengaku telah melakukan berbagai upaya, di antaranya pencegahan perbuatan seksual di antara mereka yang belum pernah berhubungan seks atau perawan dan bujangan, terutama anak pelajar, melalui sosialisasi langsung dan via para guru dan orang tuanya.
Lalu, memberikan sosialisasi kepada pasangan agar saling setia atau yang sudah berumah tangga untuk tidak melakukan seks bebas atau “jajan” di luar rumah, serta yang terakhir adalah melalui upaya kondomisasi.
Cicih, seseorang yang masuk kelompok orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Subang, dalam testimoninya mengatakan, ia tertular virus jahat tersebut pada medio 2005 akibat berhubungan seks dengan suaminya yang pengguna narkoba dan belanja seks bebas.
”Akhirnya saya dikucilkan oleh warga, termasuk keluarga. Hanya orang tua = yang sabar dan selalu memberikan motivasi,” kata Cicih. Selain keluarga, yang selalu memberikan motivasi adalah Kelompok Sebaya.
Anak perempuannya yang baru lahir juga dikucilkan. Tetapi Cicih mengaku beruntung. Sebab, anaknya, yang dilahirkan melalui operasi caesar, dinyatakan negatif HIV/AIDS.
Sekarang, setelah delapan tahun melakukan pengobatan rutin dan mengkonsumsi the, dirinya sudah dinyatakan terlepas dari status ODHA. “Saya sudah merasa sehat dan alhamdulillah masyarakat sudah mengakui lagi eksistensi saya,” ujar Cicih dengan mata berkaca-kaca.
Pelaksana tugas Bupati Subang, Imas Aryumningsih, berjanji akan melengkapi fasilitas pengobatan di rumah sakit Ciereng dan membangunkan pusat rehabilitasi HIV/AIDS. “Supaya upaya pengobatan dan rehabilitasi para penderitanya bisa langsung dilakukan di Subang,” ujarnya. Sebab, selama ini pengobatan dan upaya rehabilitasi para penderita HIV/AIDS dilakukan di Bandung dan Jakarta.
NANANG SUTISNA