TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan kelompok penyandera di Perairan Sulu, Filipina, dan Perairan Sabah, Malaysia, sama. Namun, penculikan dan penyanderaan dilakukan kelompok berbeda.
"Ada orang yang keahliannya di laut ada yang keahliannya menyandera," kata Iqbal di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa 13 Desember 2016.
Menurut Iqbal, kelompok tersebut tidak akan beroperasi jauh dari gugusan Kepulauan Filipina. Sebab, kata dia, mereka tidak akan berani beroperasi di area yang berdekatan dengan laut lepas. "Daerah Sabah itu dekat Pulau Tawi-Tawi, yang dekat ke Sulu. Mereka tidak berani dekat Sulawesi Utara karena laut lepasnya luas sekali," kata Iqbal.
Pada Mei 2016, tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Filipina bersepakat menyusun kerja sama keamanan kawasan, Joint Declaration. Isi deklarasi ini meliputi empat kerja sama, seperti patroli bersama, membentuk pusat informasi dan pusat penanganan krisis di tiap negara jika terjadi gangguan keamanan.
Iqbal menambahkan, persetujuan standar operasi sempat terhambat. "Itu karena Malaysia belum sepakat karena perbedaan karakter ancaman," kata Iqbal. Iqbal mengatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri Malaysia untuk membahas kesepakatan ini.
Kondisi ini menyebabkan gangguan keamanan berpindah dari Perairan Sulu ke Perairan Sabah. Ia mengklaim keadaan di Perairan Sulu lebih aman dengan adanya kerja sama Indonesia dan Filipina di kawasan tersebut.
Pada 20 Juni 2016, kapal berbendera Indonesia TB Charles dibajak kelompok militan Abu Sayyaf di Laut Sulu dan tujuh Anak Buah Kapal (ABK) WNI disandera di selatan Filipina. Penyanderaan tersebut berakhir saat pemerintah Indonesia berhasil membebaskan dua WNI atas nama Muhamad Nasir dan Robin Pieter pada Senin, 12 Desember 2016.
Sebelumnya, dua ABK atas nama Muhammad Sofyan dan Ismail telah berhasil bebas pada pada 7 Agustus 2016, kemudian tiga ABK lainnya, yakni Edi Suryo, Muhammad Mahbrur Dahri, dan Ferry Arifin dibebaskan pada 1 Oktober 2016.
Saat ini, pemerintah Indonesia berupaya membebaskan empat WNI ABK yang bekerja di kapal-kapal ikan berbendera Malaysia yang diculik kelompok bersenjata di Perairan Sabah, Malaysia, selama periode November hingga Desember 2016.
ARKHELAUS W | ANTARA