Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Seorang wartawan Indonesia bernama Mohammad Dahlan tertangkap militer Irak, Senin (3/1) siang. Pria yang bekerja untuk harian Surya, Surabaya, Jawa Timur, itu dituduh melakukan kegiatan spionase setelah sehari sebelumnya memasuki negara itu. Belum diperoleh kepastian nasib Dahlan, dan di mana dia ditahan. "Saya sedang diperiksa militer Irak," ujar Dahlan, ketika menghubungi Khalid, penjaga rumah sewa dia di Amman, Yordania, kemarin. Kabar tersebut disampaikannya setelah memperoleh kesempatan singkat untuk menelepon dari kantor militer di Irak. Tapi, dia tidak memberitahu tempat penahanan. Kemudian, Khalid meneruskan info tersebut ke Surabaya, sekitar pukul 20.30 WIB. "Malam itu, kami mengontak nomer telepon di Irak yang ditinggal Dahlan pada penjaga rumah. Ternyata, nomer tersebut tak bisa dihubungi. Kami juga menjalin kontak dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Irak di Bahgdad. Ternyata, tidak bisa dihubungi pula. Sedang KBRI di Yordania tidak mengetahui penahanan itu," ujar Anwar Hudijono, Pemimpin Redaksi Harian Surya, saat dikonfirmasi Tempo News Room, Selasa (4/1). Menurut Khalid, Dahlan menginformasikan dirinya diperiksa berkaitan tuduhan spionase. Tapi, Khalid tidak bisa mengorek keterangan lebih dalam karena telepon Dahlan tiba-tiba terputus. Anwar pun menanyakan situasi Dahlan saat percakapan itu. Khalid menjelaskan, suara Dahlan seperti ketakutan," tutur Anwar. Barangkali, Dahlan merupakan satu-satunya wartawan Indonesia yang nekat menembus Irak pada musim krisis ini, ketika negeri pimpinan Saddam Husein itu diancam serangan besar-besaran dari Amerika Serikat dan Inggris. Koran asuhan grup Kompas-Gramedia itu memberangkatkan Dahlan, akhir Januari lalu. Malahan, sebelum menuju medan tugas, Dahlan telah menyodorkan pernyataan "kontrak mati." Menurut Anwar, surat itu sepenuhnya berasal dari Dahlan. "Dia memang punya tekad besar melakukan liputan jurnalistik di medan bergolak itu. Saya hormat sekali karena surat itu," tuturnya. Namun, Anwar tidak melepas begitu saja. Dia sempat mengingatkan Dahlan betapa berbahayanya medan yang dihadapi. Tapi, tekadnya tidak terbendung. Anak istrinya di Makasaar juga tidak kuasa mencegah. Akhirnya, Dahlan dilepas pergi. "Tapi, sebelumnya kami telah mengasuransikan Dahlan. Yang jelas besar, mengingat resikonya juga tinggi," ujarnya. Dahlan sendiri masuk ke Irak lewat jalur gelap alias tidak berbekal visa. Setelah mangkal di Amman, dia mendapat info dari dua mahasiswa Indonesia di Yordania perihal cara pintas masuk Irak. Pasalnya, saat ini pemerintah Irak amat ketat memberi visa kunjungan pada orang asing, termasuk para jurnalis yang mengantri di Amman. "Diplomat saja, paling cepat dapat visa dua pekan. Apalagi seorang wartawan, sangat sulit," ujar Dahlan, ketika itu. Hasrat Dahlan untuk melakukan liputan ke Irak begitu berkobar. Jalan pintas, yakni melalui jalur penyelundupan yang difasilitasi agen gelap dengan imbalan uang, ditempuhnya. "Tapi, Dahlan bercerita dia hanya punya waktu 24 jam untuk masuk Irak," ujar Anwar. Di luar batas itu, tidak ada jaminan keselamatan Dahlan. Dahlan juga menuturkan, negara-negara Arab, selain Yordania dan Mesir, dikenal amat tertutup untuk memberi visa bagi wartawan. Ia mencontohkan wartawan Tempo Jakfar Busyiri yang ditangkap Arab Saudi, lalu meninggal dunia. Wartawan Kompas Mustofa Andurrahman juga pernah ditangkap dan dipaksa pulang dari Suriah karena ketahuan melakukan liputan jurnalistik di negara tersebut. Saat berhasil masuk Irak, Minggu malam, Dahlan menelepon singkat ke Surabaya. Ketika itu kontak terjadi pukul 06.18 WIB, atau selepas tengah malam di Irak. Sebaliknya, telepon seluler yang dipegang Dahlan tidak bisa dihubungi. "Siapkomandan. Kan saya sudah kontrak mati," ujar dia, kepada Anwar dengan nada suara gembira. "Iya, tapi kamu ke Irak bukan untuk mati, tetapi pulang membawa sukses," balas Anwar. Esoknya, edisi Senin, keluar berita Wartawan Surya Tembus Irak. Di berita itu diceritakan Dahlan menelepon terburu-buru karena mobil yang mengantar sudah menunggu untuk melanjutkan perjalanan. Edisi sebelumnya, koran tersebut menurunkan kisah Dahlan yang berusaha menembus Irak pada Sabtu subuh dengan naik taksi dari Amman. Tapi, persis di perbatasan, Dahlan dihentikan tentara Irak dengan todongan bayonet terhunus. Dia ditangkap, kemudian digiring dengan mata tertutup ke lokasi pemeriksaan. "Perasaan saya berkata saya dibawa ke bunker terkenal itu. Bunker yang dibangun dengan seksama sehingga tidak bisa ditembus bom Amerika," tulis Dahlan. Dia menjalani pemeriksaan oleh tiga orang tentara secara bergantian. Kadang dengan nada manis, tetapi mendadak menghardik, membentak dan mengancam. Tentara Irak sempat mengeluarkan pistol karena merasa jengkel. Dikira Dahlan pura-pura tidak bisa bahasa Arab. Sedang tawaran bahasa Prancis dan Inggris --yang dikuasai Dahlan-- ternyata tidak nyambung karena tentara Irak tidak paham. Tetapi, dialog tetap terjadi meski tidak lancar. Dan, identitas nama Mohammad Dahlan yang kental dengan nuansa Islam, membuat hati tentara Irak lumer, bahkan bersimpati. Apalagi, Dahlan merayu dengan meyakinkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam dan menaruh simpati pada Presiden Saddam Husein. "Mereka senang ketika saya menyebut Presiden Saddam yang diridhoi Allah," ujar Dahlan di laporan itu. Setelah situasi benar-benar cair, Dahlan diperbolehkan pulang kembali ke Amman. Ternyata, Dahlan tidak jera. Dia berusaha mencoba lagi hingga tertangkap, Senin kemarin. Apa ancaman Irak terhadap warga asing yang dituduh spionase? Sepengetahuan Anwar, hukuman yang diterapkan sangat berat. Bisa-bisa nyawa melayang, apalagi saat krisis menjelang perang seperti sekarang. Atau, dihukum kerja paksa seumur hidup. "Saya pernah baca, seorang wartawan Inggris dijatuhi hukuman mati di Irak karena ketahuan memotret reactor nuklir Irak yang kemudian dibombardir Israel," ujar Anwar. Secara prosedural, Anwar menyatakan peristiwa yang dialami Dahlan merupakan resiko dalam tugas yang sebelumnya sudah diperhitungkan. Apalagi penggunaan "jalur gelap" tidak bisa dibenarkan peraturan negara mana pun. "Tapi, kan seringkali wartawan amat nekat semata-mata untuk menunaikan kerja jurnalistik," ujarnya. (Adi Sutarwijono - Tempo News Room)