Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Kesenjangan Sekolah Islam Bisa Picu Ekstrimisme

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Terjadi kesenjangan yang cukup besar antara sekolah Islam mainstream dengan sekolah Islam network di Indonesia, hal yang bisa memunculkan perilaku ekstremisme.

Demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan tiga universitas yaitu Monash University, Universitas Islam Walisongo Semarang dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Baca Juga:

Hasil penelitian tersebut disampaikan baru-baru ini dalam simposium internasional pencegahan ekstremisme di sekolah yang diselenggarakan di UIN Walisongo Semarang.

Sebelumnya kelompok peneliti dari tiga universitas membuat penelitian “Religious extremism and education: do schools make a difference?” (Ekstrimisme agama dan pendidikan dan pendidikan: apakah sekolah membuat perbedaaan?).

Peneliti Agus Mutohar yang sedang melanjutkan pendidikan S3 di Monash University menjelaskan kepada wartawan ABC Sastra Wijaya, dalam membedakan sekolah bagi penelitian tersebut mereka mengkategorikan sekolah mainstream (mainstream schools) sebagai mayoritas sekolah Islam pada umumnya yang cenderung terbuka dan adaptif pada perubahan. Sedangkan sekolah network (network schools) mengacu pada sekolah Islam yang memiliki pandangan tertutup.

Baca Juga:

Dari temuan di lapangan sejumlah sekolah Islam di Jawa Tengah masih memiliki pola pendidikan yang bisa memunculkan perilaku ekstremisme.

Sekolah yang masuk dalam kategori network school tersebut cenderung tertutup, terpisah dari masyarakat, mengajarkan konstruksi identitas tunggal dan keseragaman.

Sekolah network ini sangat tertutup dengan melakukan perekrutan guru dengan latar belakang yang sama dan mengajarkan narasi-narasi kebencian terhadap pemeluk agama yang lain.

Sementara itu sekolah mainstream (mainstream school) sudah mengajarkan nilai keterbukaan, integrasi, indetitas beragam, dan komunalitas.

Sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori mainstream mayoritas telah menumbuhkan sikap toleran, idetitas muslim indonesia, dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan antar iman dengan siswa dari sekolah lain.

“Penelititian yang kami paparkan di simposium ini bisa dijadikan pijakan awal bagi seluruh stakeholder pendidikan bahwa masih terdapat beberapa sekolah yang cenderung mengajarkan sikap tertutup yang bisa berujung pada tumbuhnya ekstremisme lewat pemaksaan sikap beragama untuk orang lain,” tutur Agus Mutohar.

Murid di sekolah network di Indonesia mendapat pembatasan penggunaan HP di sekolah
Murid di sekolah network di Indonesia mendapat pembatasan penggunaan HP di sekolah
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Supplied

Menurut Agus Mutohar penelitian ini dilatarbelakangi bahwa Indonesia menepati rangking 42 dari 163 negara dalam indeks terorisme global yang menunjukkan bahwa perlu usaha yang menyuluruh dari seluruh pihak untuk mencegah munculnya sikap ekstremis dalam berbagai struktur masyarakat termasuk sekolah.

Mereka yang terlibat dalam penelitian adalah Dr Melanie C Brooks dan Prof Jeffrey Brooks dari Monash, Prof Irwan Abdullah dari UGM dan Agus Mutohar mewakili UIN Walisongo.

Selama tahun 2017, peneliti melakukan studi kasus di 20 sekolah Islam di Jawa Tengah dengan mewawancarai kepala sekolah, melakukan observasi, dan studi dokumen seperti kurikulum dan dokumentasi sekolah.

Agus Mutohar mengatakan di sekolah network terjadi pengajaran ekstrim dengan contoh pada beberapa hal.

"Misalnya ada kepala sekolah yang membatasi siswa mengakses internet, sekolah terpisah yaitu sekolah yang merekrut guru dari latar belakang yang sama dan terafiliasi pada Islam transnasional, sekolah yang mengajarkan identitas murni dan tunggal yaitu sekolah yang mengajarkan Islam sebagai identitas tunggal dan tidak menerima identitas nasional maupun lokal," kata Agus Mutohar.

Dia mencontohkan dalam wawancara penelitian, kelompok peneliti ini berbicara dengan seorang kepala sekolah yang mendorong murid-murid mereka memberikan suara dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun lalu, dengan calon Ahok dan Anies Baswedan sebagai bagian dari sekolah network.

Ahok ketika itu juga sedang menghadapi kasus penistaan agama berkaitan dengan ucapannya mengenai Islam.

"Kami memberikan ijin kepada mereka untuk memberikan suara dan malah menganjurkan mereka memberi suara karena ini merupakan pemilihan antara Islam dan non Islam, antara kemenangan Islam atau kehancuran Islam di Jakarta," demikian kutipan dari salah seorang kepala sekolah.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada