Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Kisah Bertemunya Mantan Teroris dan Para Korban

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

15 tahun lebih sejak terjadinya bom Bali pada Oktober 2002, salah satu korban bernama Chusnul Khotimah hingga kini masih belum terbebas dari dampak luka bakar serius yang dialaminya.

Ibu tiga anak ini saat kejadian sedang berjalan menyusuri gang sempit di samping Paddy's Bar di Kuta ketika bom pertama meledak, merobohkan tiang listrik yang menimpan wajahnya.

Baca Juga:

Saat Chusnul berusaha melarikan diri dari lokasi, dia kembali merasakan ledakan bom kedua beberapa saat kemudian yang meluluhlantakkan Sari Club tak jauh dari situ.

Luka bakar di wajah dan tangan Chusnul masih menyisakan dampaknya sampai hari ini. Dia masih membutuhkan perawatan rutin untuk kulitnya.

Namun, sudah sejak lama Chusnul menemukan rasa memaafkan dalam dirinya kepada para pelaku pemboman tersebut.

Baca Juga:

Dia adalah satu dari belasan korban serangan teror yang bersedia berhadapan langsung dengan para mantan teroris yang telah menjalani hukuman.

Pemerintah Indonesia pekan ini mengumpulkan lebih dari 120 mantan teroris dan 51 korban serangan teror dalam pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta. Tujuannya, mendorong proses rekonsiliasi.

Sepuluh tahun lalu, pertemuan seperti ini belum bisa terbayangkan akan terlaksana.

Di sebuah hall besar di hotel itu, mantan teroris dan para korban serangan duduk berdampingan.

Minta maaf atas nama 'keluarga pembom'

Ali Fauzi
Ali Fauzi merupakan mantan teroris yang dianggap berhasil menjalani deradikalisasi.

ABC News: Ari Wu

Tak jauh dari tempat duduk Chusnul Khotimah, hadir Ali Fauzi, pembuat bom untuk kelompok teroris Jemaah Islamiyah, yang berada di balik pemboman Bali.

Dua saudara Ali Fauzi, yaitu Ali Ghufron dan Amrozi, merupakan dalang pemboman tersebut. Keduanya telah dieksekusi mati, sementara saudara Ali Fauzi lainnya, yaitu Ali Imron, kini masih dipenjara.

Ali Fauzi juga telah menjalani tiga tahun penjara karena kasus terorisme. Tapi saat ini dia merupakan sosok yang berubah. Dia merupakan mantan teroris yang dianggap berhasil menjalani deradikalisasi di Indonesia.

Seperti orang-orang yang hadir di Hotel Borobudur, Ali Fauzi juga menyampaikan uluran tangan bagi para korban.

"Atas nama keluarga pembom Bali, saya meminta maaf," kata Ali Fauzi.

"Sejak tahun 2014 saya terus berkeliling meminta maaf kepada mereka yang terluka dan menjadi korban tindakan saudara-saudara saya, baik di Bali, Surabaya maupun Jakarta," tambahnya.

Di situ hadir pula Sofyan Tsauri, mantan polisi yang bergabung dengan kelompok teroris Al Qaeda dan memimpin kamp pelatihan untuk anggota-anggota baru.

Dia telah menjalani deradikalisasi, dan sekarang giat bekerja menghentikan orang lain bergabung dengan kelompok militan. Hal itu, katanya, membuat mantan rekan-rekannya marah.

"Mereka meneror saya, mereka menyebut saya pengkhianat, tapi saya tidak peduli," katanya.

"Kita harus memperhatikan penderitaan para korban," ujar Sofyan.

"Kita bertanggung jawab kepada Tuhan atas setiap tetes darah yang tumpah," tambahnya.

Tak semua orang siap memaafkan

Para mantan terpidana teroris dan korban sama-sama menempuh perjalanan sulit dan panjang untuk bisa berada dalam ruangan di hotel tersebut.

Salah satu korban lainnya, Toni Sumarno, hingga kini masih mengalami luka permanen termasuk luka bakar serius di tangannya, akibat pemboman di Hotel Marriott Jakarta tahun 2003.

Namun dia tidaklah menaruh dendam terhadap pelaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kita harus saling memaafkan, harus saling mencintai. Dalam agama manapun di dunia ini kita diajarkan harus saling mencintai," ujarnya.

Tidak semua orang siap untuk memaafkan dan melupakan.

Bombing victim Toni Sumarno attends the conference
Toni Sumarno mengalami cedera permanen akibat serang bom di Hotel Marriott Jakarta tahun 2003.

ABC News: Ari Wu

Korban teror lainnya, warga Jerman Frank Feulner, terluka ketika pelaku bom bunuh diri meledakkan diri di kafe Starbucks dua tahun lalu.

Dia mendukung ide rekonsiliasi ini. Dia telah lama berkampanye untuk adanya kompensasi bagi para korban.

"Saya belum memutuskan saat ini," katanya.

"Saya kira pikiran para korban serangan Thamrin saat ini masih seputar kebutuhan untuk membayar biaya medis dan mendapatkan sistem bagi adanya kompensasi," ujarnya.

Begitu pula tidak semua mantan narapidana teroris dalam pertemuan itu sama-sama menyesali perbuatannya.

Man poses with crutches
Ardin Janata telah menjalani pidana penjara dalam kasus penyerangan terhadap umat Kristen di Poso.

ABC News: Anne Barker

Mantan terpidana teroris Ardin Janata pernah menjadi militan di Sulawesi. Dia dijatuhi hukuman penjara atas serangan terhadap orang Kristen di Poso, lebih dari satu dekade lalu.

"Secara pribadi saya merasa kasihan, tapi dalam hal agama, saya tidak menyesal," katanya.

"Saya melakukan apa yang dilakukan orang lain kepada kami. Saya melakukan pembalasan. Secara pribadi saya menyesali apa yang saya lakukan," ujar Ardin.

"Orang-orang itu membunuhi umat Islam di tahun 2000," tambahnya.

Sebaliknya, banyak korban selamat juga masih trauma untuk bertemu para pelaku penyerangan secara langsung, apalagi memaafkan.

Beberapa di antara korban juga marah kepada Pemerintah Indonesia. Mereka menuduh pemerintah lebih banyak berbuat bagi teroris daripada korban.

Kepada para pejabat yang hadir pada pertemuan itu Chusnul menyuarakan perlunya kompensasi finansial untuk menutupi biaya pengobatannya yang masih berlangsung.

Pemerintah Indonesia memuji pertemuan ini sebagai langkah penting menuju rekonsiliasi. Meskipun banyak korban mengatakan kepada ABC Australia bahwa mereka secara pribadi tidak bicara dengan pelaku di balik serangan yang mereka alami.

Sedikitnya dua kelompok korban memboikot pertemuan tersebut. Yayasan Penyintas Indonesia misalnya menyatakan bahwa hak-hak korban lebih penting daripada rekonsiliasi.

"Secara pribadi saya belum siap bertemu mereka. Saya tidak tahu siapa mereka. Tapi saya yakin ada risiko terhadap kondisi psikologis dan keamanan keluarga saya," kata salah satu korban Ni Luh Erniati.

Dia menilai meskipun Pemerintah memiliki niat baik, namun banyak korban selamat masih trauma untuk bertemu penyerang mereka secara langsung.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada