Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Ramai-ramai Pilih Jalur Independen di Indonesia Untuk Terbitkan Buku

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Kehadiran layanan self publishing dan penerbit indie telah menjadi oase baru bagi para penulis pemula di Indonesia yang bermimpi membukukan tulisan mereka.

Dukungan tersebut juga kian menguat dengan hadirnya beberapa toko buku yang mewadahi distribusi buku mereka.

Baca Juga:

Antusiasme dan kreativitas penulis pemula untuk mempublikasikan karyanya selama ini kerap terbentur dengan masalah klasik di dunia penerbitan.

Mulai dari mahalnya ongkos cetak buku, seleksi ketat dan standar editorial oleh penerbit besar hingga kecilnya royalti bagi penulis.

Kendala-kendala inilah yang mendorong banyak penulis terutama penulis pemula memilih menerbitkan buku mereka secara mandiri atau self publishing.

Baca Juga:

Raihan Lubis, penulis kelahiran Medan, Sumatera Utara ini akhir tahun lalu sukses meluncurkan novel perdananya berjudul 'Siti Kewe' yang bercerita tentang persahabatan 3 anak petani kopi asal Gayo, dataran tinggi di Aceh yang memiliki kawasan perkebunan kopi terluas di Indonesia.

Ia memilih menerbitkan sendiri novelnya tersebut karena menilai pelaku bisnis penerbitan buku mainstream masih kurang menghargai hak inteletual penulis.

"Saya pernah menawarkan naskah novel saya ke penerbit besar, mereka berminat dan mau menerbitkan. Tapi mereka hanya menawarkan royalty sebesar 5% - 10% per buku. Menurut saya itu tawaran yang tidak fair untuk penulis, apalagi karya kita tidak dibeli, seperti sistem beli putus, tapi penulis hanya dapat royalti saja." tuturnya.

Raihan Lubis mengaku keberatannya bukan sekedar hitung-hitungan royalti saja, tapi menurutnya penghargaan yang lebih baik atas hak intelektual penulis itu penting untuk mendukung penulis bisa terus berkarya.

"Saya berharap hasil dari penjualan novel saya bisa menjadi modal untuk menyusun karya saya selanjutnya. Apalagi saya mengkhususkan diri menulis novel mengenai kopi, terutama kopi-kopi nusantara."

"Itu butuh riset mendalam, kadang saya harus berkunjung langsung ke suatu daerah dan itu semua membutuhkan dana," tambahnya.

Nur Raihan
Raihan Lubis (kiri), menjadi pembicara di Festival Kopi mengenai novelnya 'Siti Kewe' yang menceritakan kisah tiga anak petani kopi di Gayo.

Supplied

Menurut Raihan Lubis, menerbitkan sendiri naskah tulisan saat ini tidaklah sulit.

Apalagi sejak tahun 2011, pemerintah telah menggratiskan biaya mengurus pendaftaran Internasional Standard Book Number (ISBN) melalui Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Tantangan terbesar penulis menurutnya adalah di urusan distribusi. Ia mengaku tema kopi dalam novelnya turut memudahkan distribusi karyanya, karena dia bisa menitipkan karyanya di gerai-gerai kopi atau mengikuti acara-acara bertema kopi seperti festival kopi dan lain-lain untuk mempopulerkan karyanya.

Namun menurutnya, media sosial juga menjadi platform yang sangat penting bagi self publisher dalam memasarkan karya mereka.

"Satu hal yang diiming-imingkan penerbit besar itu adalah mereka akan membantu memasarkan buku kita di jaringan toko buku mereka di seluruh Indonesia. Tapi bagi saya keberadaan media sosial saat ini sangat membantu dalam memasarkan novel saya."
"Berkat jaringan pertemanan dan perkenalan di media sosial, saya sampai mengirim novel saya ke luar negeri."

Booming terbitkan buku sendiri

Self publishing atau penerbitan mandiri adalah proses publikasi naskah menjadi buku dimana penulis memiliki kontrol penuh dalam seluruh proses penerbitan bukunya tersebut. Mulai dari menulis naskah, lay out buku, hingga penentuan harga buku dan proses pemasarannya.

Briliant Yotenega
Briliant Yotenega, salah satu pendiri nulisbuku.com yang menawarkan layanan self publishing pertama di Indonesia.

Briliant Yotenega Linkedin

Bagi mereka yang tidak punya waktu untuk mengkurasi karya mereka, saat ini juga banyak bermunculan penerbit indie yang menawarkan layanan kurasi tersebut.

Dari sisi bisnis, self publishing dan penerbit indi ini bukan sebenarnya konsep baru lantaran sudah mulai marak di Amerika dan Eropa sejak awal tahun 1990-an.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi di Indonesia konsep bisnis ini baru mulai dikenal sekitar satu dekade terakhir. Dan belakangan layanan self publishing ini semakin banyak bermunculan.

Situs nulisbuku.com merupakan start up selfpublishing pertama yang menawarkan layanan penerbitan buku berbasis Print On Demand.

Diluncurkan sejak Oktober 2010 lalu, situs ini memungkinkan siapa saja bisa menerbitkan buku mereka sendiri dengan mudah, cukup dengan mengisi template yang telah disediakan.

"Penulis bisa mengupload naskah mereka di situs kami, kalau ada yang berminat akan langsung kami cetak dan dikirimkan. Dalam setiap pembelian itu akan ada royalti dengan share 60 persen untuk penulis dan 40 persen untuk situs kami dari harga buku yang ditentukan sendiri oleh penulisnya melalui template yang sudah kami sediakan." kata  Briliant Yotenega salah satu pendiri situs nulisbuku.com.

Pria yang akrab disapa Ega ini mengatakan mekanisme ini menghapus batasan umum yang dialami penulis ketika berhadapan dengan penerbit besar mulai dari standar halaman, materi naskah atau genre yang harus memenuhi selera pasar hingga minimal eksemplar buku yang dicetak.

Sehingga penulis bisa langsung mewujudkan impiannya melihat naskahnya dalam bentuk buku. Sesuatu yang tidak akan mudah didapat penulis, terutama penulis pemula jika berupaya menerbitkan karyanya melalui penerbit besar.

“"Penerbit utama sangat selektif, mereka hanya menerbitkan karya dari penulis yang sudah punya nama dan sudah pasti akan dibeli bukunya. Jadi, naskah dari penulis pemula mau sebagus apapun tidak akan langsung dilirik. Sebaliknya harus menunggu proses seleksi yang bisa makan waktu hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Itu sangat melemahkan antusiasme mereka," tambahnya.

Ega mengatakan dalam 8 tahun terakhir situsnya telah menerbitkan lebih dari 12 ribu judul buku.

Dan tidak sedikit penulis yang memiliki karya yang bagus akhirnya dilirik dan diterbitkan juga karyanya oleh penerbit besar.

Dukungan bagi buku-buku yang diterbitkan secara self publishing atau melalui penerbit independent ini juga kian besar dengan hadirnya independent book store, yakni toko buku yang menawarkan koleksi buku unik dan langka.

Post santa independent Book Store
Toko buku Post Santa di Pasar Santa, Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang memfokuskan koleksinya dengan buku-buku dari penerbit indie.

ABC _Iffah Nur Arifah

Salah satunya adalah toko buku post santa yang terletak di Pasar Santa, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Toko buku yang hanya buka di akhir pekan ini sejak berdiri 5 tahun lalu memang memfokuskan pada buku yang diproduksi oleh penerbit independen.

"Sejak awal buka toko buku kami memang bercita-cita menjadi toko buku alternatif, karena itu kami fokus mewadahi buku-buku terbitan penerbit independen."

"Toko kami kecil dan hanya buka akhir pekan saja, kalau koleksi kami sama dengan toko buku besar ya buat apa," tutur pemilik Post Santa, Maesy Ang.

Menurutnya kebebasan penulis menuangkan gagasan atau mengupas tema yang tidak biasa menjadi kekuatan utama dari buku-buku terbitan penerbit independen.

"Penerbit independen tidak selalu harus memenuhi selera pasar, jadi buku-bukunya bisa punya idealisme sendiri sehingga kadang nuansanya bervariasi."

"Mereka juga mengangkat topik tertentu seperti isu sosial dan paham kiri yang mungkin tidak mendapat tempat di toko buku besar lantaran dianggap terlalu kontroversial. Jadi menurut saya ada independensi dari penerbit independent dalam segi sudut pandang." tambah Maesy Ang.

Dan ternyata buku-buku seperti itu tetap mendapat hati dan dicari oleh pencinta buku.

Animo itu menurut Maesy Ang bisa terlihat dari jumlah konsumen yang berkunjung ke tokonya yang semakin bertambah meski tokonya hanya buka di akhir pekan saja.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada