Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Sanitasi Sekolah Buruk di Indonesia Sebabkan Siswa Putus Sekolah

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Buruknya fasilitas sanitasi di sekolah membuat sebagian besar pelajar perempuan di Indonesia jarang mengganti pembalut ketika menstruasi.

Praktek ini berdampak pada meningkatnya risiko gangguan kesehatan pada sistem reproduksi hingga proses belajar mereka di sekolah dan sebagian membuat siswa memutuskan tidak melanjutkan sekolah.

Baca Juga:

Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang baru dilakukan mengenai praktek Managemen Kebersihan Menstruasi (MKM) di kalangan siswa di sekolah menengah oleh Lembaga penelitian SMERU Research Institute di sejumlah sekolah menengah di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Peneliti utama dalam studi ini Rezanti Putri Permana mengatakan kepada wartawan ABC Iffah Nur Arifah bahwa praktek MKM mencakup pengelolaan kebersihan dan kesehatan pada saat perempuan mengalami menstruasi.

Diantaranya perempuan harus dapat menggunakan pembalut yang bersih dan menggantinya sesering mungkin selama periode menstruasi hingga memiliki akses fasilitas sanitasi yang baik.

Baca Juga:

Jika pakar kesehatan menyarankan perempuan yang sedang menstruasi untuk mengganti pembalut setidaknya setiap 4-6 jam sekali.

Namun ternyata dari riset ini diketahui mayoritas siswa perempuan mengaku jarang mengganti pembalut mereka ketika berada di sekolah.

"Para pelajar itu berada di sekolah biasanya lebih dari 6 jam, dan selama itu ternyata siswa perempuan mayoritas mengaku tidak mengganti pembalut mereka dan kalaupun terpaksa mengganti pembalut di sekolah itu ada beberapa hal yang mereka lewatkan, seperti tidak mencuci tangan sebelum dan setelah mengganti pembalut mereka." papar alumnus HELP University Kuala Lumpur, Malaysia itu.

Rezanti Putri Pramana
Rezanti Putri Pramana, peneliti dari SMERU Research Institute mengatakan sarana sanitasi di sekolah belum memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah.

Supplied

Lebih lanjut Rezanti mengatakan dalam jangka panjang kebiasaan ini dapat memicu gangguan kesehatan terutama pada organ reproduksi, seperti infeksi saluran reproduksi, infeksi di organ kewanitaan mereka, infeksi saluran kemih bahkan kanker serviks atau kelahiran premature.

Hal itu dimungkinkan karena kondisi lembab ketika menstruasi rentan memicu berkembang biaknya kuman, bakteri dan jamur.

Dan pembalut yang tidak sering diganti menjadi wadah yang sangat baik untuk berkembang biaknya kuman, bakteri dan jamur tersebut.

Sementara keengganan siswa perempuan untuk mengganti pembalut di sekolah ini menurut Rezanti tak lain karena sarana sanitasi di sekolah yang tidak memadai.

"Mayoritas siswa perempuan mengaku tidak merasa aman dan nyaman untuk menggunakan toilet di sekolah mereka, Mulai dari toilet yang kotor hingga pintu toilet yang tidak ada kuncinya, itu membuat mereka akhirnya tidak atau jarang mengganti pembalut ketika haid atau menstruasi di sekolah." tambahnya.

Kondisi ini dibenarkan oleh sejumlah siswa perempuan yang ditemui di Jakarta, Nur Aida, 15 tahun, siswi sekolah menengah pertama Negeri di Jakarta Selatan.

"Saya pilih ganti pembalut di rumah aja, karena kalau ganti di sekolah risih, apalagi toilet di sekolah kotor, bau dan gak ada sabun. Jadi tunggu di rumah aja baru ganti." katanya. 

Sementara siswi lainnya, Erna Agustin, 14 tahun, juga tetap memilih menahan diri mengganti pembalut di sekolah meski toilet di sekolahnya bersih.

"Banyak yang bilang darah haid itu darah kotor dan pembalut harus dibuang dalam keadaan bersih. Jadi makanya jangan cuci di sekolah nanti malu dan najis, Jadi meski toilet di sekolah bersih saya tetap gak nyaman kalau ganti di sekolah, karena repot harus mencuci bersih pembalut jadi biasanya saya tumpuk saja baru ganti nanti di rumah." ucap siswi kelas 9 tersebut tersebut.

Erna Agustin
Erna Agustin, 14 tahun, siswi kelas 9, SMP negeri di Jakarta Selatan, mengaku risih mengganti pembalut di sekolah meski toilet di sekolahnya bersih.

ABC: Iffah Nur Arifah

Ketimpangan rasio toilet dan siswa

Keluhan lain yang umum dijumpai dalam riset ini adalah kurangnya jumlah toilet di sekolah mereka.

Dimana rasio antara toilet yang disediakan sekolah sangat sedikit dibandingkan dengan total jumlah siswa.

"Berdasarkan aturan dari Kementerian Pendidikan Nasional itu rasio toilet dan siswa itu harusnya 1:50 untuk toilet perempuan dan 1:60 untuk toilet laki-laki."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Tapi kami menemukan perbandingan toilet di sekolah itu rata-rata 1:100 bahkan lebih."

"Jadi misalnya di sekolah total ada 200 siswa ya toiletnya cuma 2 toilet jadi kurang jumlahnya."

Kondisi tidak memadainya sarana sanitasi di sekolah ini tampaknya menjadi hal yang umum terjadi di banyak sekolah, karena berdasarkan Data Pokok Pendidikan tahun 2017, sebanyak 30% sekolah dasar di Indonesia tidak mempunyai sumber air atau memiliki air yang tidak layak.

Dan hanya 34% sekolah di Indonesa yang memiliki jamban yang layak dan terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan.

Padahal, fasilitas sanitasi yang baik akan berpengaruh besar pada kesehatan, pendidikan, dan juga kesetaraan gender.

Studi badan internasional UNESCO mengatakan bahwa 1 dari 5 anak perempuan yang berusia di atas sekolah dasar putus sekolah akibat fasilitas sanitasi di sekolah yang tidak layak.

Menanggapi hal ini Khamim, Direktur Pembinaan Sekolah Dasar di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta mengatakan pemerintah terus berupaya meningkatkan kesediaan sarana sanitasi yang memadai di sekolah namun masih terganjal masalah keterbatasan anggaran.

"Diperlukan sinergi dengan kabupaten kota baik melalui APBD dan juga dana alokasi khusus untuk meningkatkan mutu dan jumlah sarana sanitasi di sekolah-sekolah," ungkapnya.

Lebih lanjut Khamim mengatakan, saat ini pemerintah telah melakukan intervensi dan menargetkan 90 persen sekolah di Indonesia memenuhi standard jamban yang baik serta 100 persen sekolah memiliki jamban terpisah bagi laki-laki dan perempuan.

Masih dianggap topik tabu

menstruasi
Kondisi lembab ketika haid rentan memicu pertumbuhan kuman, bakteri dan jamur, oleh karena itu perempuan disarankan untuk mengganti pembalut setiap 3-4 jam sekali.

ABC

Penelitian ini juga mengungkapkan rendahnya kesadaran Manajeman Kebersihan Menstruasi (MKM) juga telah menyebabkan proses pembelajaran siswa perempuan ikut terganggu.

Sejumlah gejala khas menstruasi yang mereka alami seperti nyeri haid, pusing, sakit pinggang dan bahkan perundungan akibat noda haid di pakaian seragam mereka telah menahan siswa perempuan untuk terlibat aktif di kelas maupun kegiatan sekolah.

"Hal itu tidak perlu terjadi, seandainya mereka tahu bagaimana menyikapi gejala-gejala seperti itu misalnya meminum obat untuk mengatasi sakit perut dan pusing ketika haid, atau mengantisipasi lemas dengan meminum suplemen anti anemia karena ketika haid mereka kehilangan banyak darah, dan menggunakan  jenis pembalut yang tepat agar tetap nyaman dan tidak tembus," paparnya. 

Namun sayangnya informasi itu belum sepernuhnya dibicarakan secara terbuka di sekolah-sekolah lantaran menstruasi masih menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan.

"Mereka menganggap jika topik menstruasi dan kesehatan reproduksi dibicarakan di kelas itu nanti akan memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti seks bebas atau lainnya, makanya tidak didiskusikan."

Sebaliknya para guru menyerahkan isu ini kepada orang tua untuk mengajarkan topik menstruasi kepada anak perempuan mereka.

Padahal penelitian lain yang dilakukan oleh Plan Internasional menunjukan 63 persen orang tua siswa SD dan SMP tidak pernah menjelaskan tentang menstruasi kepada anak perempuannya.

Sedangkan 45 persen orang tua tidak merasa perlu menjelaskan menstruasi kepada anak laki-laki karena menganggap anaknya terlalu kecil dan akan tahu sendiri saat dewasa.

Dari temuan ini SMERU merekomendasikan agar isu menstruasi dan MKM perlu ditingkatkan dan dimasukan dalam kurikulum SD dan SMP.

"Dengan dibahas secara komprehensif dalam kurikulum, kami harapkan akan tercipta kondisi ideal dimana siswa perempuan merasa aman dan nyaman dan tidak malu untuk mengungkapkan keluhannya selama periode menstruasi dan guru atau sekolah mampu merespon dengan baik dan memberi dukungan dengan menyediakan obat-obatan atau akses ke pembalut dan sebagainya." tambahnya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada