Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Amnesty Sebut Diskriminasi Rohingya Sama Dengan Apartheid

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Kebijakan Pemerintah Myanmar yang membatasi etnis Rohingya untuk bepergian, mendatangi rumah sakit atau mendapatkan pendidikan bisa digolongkan sebagai tindakan apartheid, demikian disampaikan Amnesty International.

LSM ini dari Bangkok merilis laporan berjudul Caged Without A Roof, yang merinci diskriminasi meluas sebelum terjadinya kekerasan yang menyebabkan 600.000 warga Rohingya lari ke Bangladesh.

Baca Juga:

"Pihak berwenang Myanmar memisahkan dan menggiring wanita, laki-laki dan anak-anak Rohingya sistem apartheid yang tidak manusiawi," kata Anna Neistat, direktur riset Amnesty International.

"Sistem ini tampaknya dirancang untuk membuat kehidupan warga Rohingya tidak berdaya dan mempermalukan mereka," katanya.

Warga Rohingya yang ingin pergi bepergian ke kota atau desa lainnya haruslah mengajukan izin, membayar biaya dan risiko penggeledahan di pos pemeriksaan, dimana Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) memperlakukan mereka sebagai "mesin uang berjalan".

Baca Juga:

"Saat melakukan penelitian untuk laporan ini, Amnesty International melihat langsung seorang penjaga perbatasan menendang seorang pria Rohingya di sebuah pos pemeriksaan," kata laporan tersebut.

"(Amnesty) mendokumentasikan setidaknya satu eksekusi di luar hukum, ketika petugas BGP menembak mati seorang pria berusia 23 tahun yang bepergian saat jam malam," tambahnya.

Rohingya dilarang mengakses rumah sakit terbaik negara bagian di Sittwe, kecuali dalam kasus yang sangat akut, demikian ditambahkan dalam laporan tersebut.

Di beberapa pusat kesehatan yang menerima warga Rohingya, Amnesty mengatakan mereka dirawat di "bangsal Muslim" dan sering dipaksa membayar suap untuk memanggil anggota keluarga atau membeli makanan dari luar.

Kelompok HAM yang berbasis di London telah meminta embargo senjata terehadap Myanmar, sanksi dan upaya memastikan bantuan internasional tidak disalurkan ke proyek yang diskriminatif.

Australia merupakan penyedia utama bantuan di Negara Bagian Rakhine.

Suu Kyi Terus Menyangkal

Investigasi dua tahun Amnesty memberikan gambaran sangat berbeda dengan yang diajukan pemimpin de facto Myanmar dan pemenang Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi.

Ketika ditanya mengenai tuduhan pelanggaran HAM yang mengerikan, Suu Kyi bersikukuh dengan penyangkalan di wajahnya.

"Kita tidak dapat mengatakan terjadi atau tidak. Sebagai pemerintah yang bertanggung jawab, kami harus memastikan hal itu tidak akan terjadi," kata Suu Kyi kepada wartawan, di akhir pertemuan pejabat senior di sebuah Pertemuan Asia-Eropa di Naypyitaw.

Pada bulan September, ketika Suu Kyi berbicara di depan masyarakat internasional, dia juga menolak keras bahwa telah terjadi diskriminasi sistematis.

"Semua orang yang tinggal di Rakhine State memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan perawatan kesehatan tanpa diskriminasi," katanya saat itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun laporan Amnesty menyebutkan akses pendidikan telah dibatasi sejak tahun 2012, dimana anak-anak Rohingya tidak diizinkan masuk sekolah negeri campuran di banyak wilayah Rakhine.

"Anak-anak (Myanmar) tidak boleh bersekolah bersama anak-anak etnis Rakhine, yang berarti masa depan mereka dirampas karena tidak dapat belajar, membangun kehidupan lebih baik untuk diri sendiri," ujar peneliti Amnesty Laura Haigh kepada ABC.

Ada sekitar 1,1 juta orang Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine. Mereka tidak diakui kewarganegaraannya dan dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meski sudah hidup beberapa generasi di Myanmar.

Dua serangan militan Rohingya pada bulan Oktober 2016 dan Agustus 2017 memicu "operasi pembersihan" brutal oleh tentara, BGP dan warga Rakhine.

Lebih dari 600.000 orang Rohingya melarikan ke Bangladesh. PBB menggambarkan situasi ini sebagai "pembersihan etnis".

Tekanan dari UE, dukungan dari China

Laporan Amnesty muncul saat pemimpin de facto Myanmar mendapat tekanan dari para pemimpin Eropa mengenai krisis tersebut, dan sebaliknya menerima dukungan dari pejabat China yang berkunjung.

Pejabat pemerintah, termasuk Suu Kyi, bertemu dengan para pemimpin Eropa di Naypyidaw pada hari Selasa.

Beberapa pejabat Eropa sebelumnya telah mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Bangladesh.

Suu Kyi menyatakan berharap untuk mencapai kesepakatan dengan Bangladesh mengenai bagaimana cara untuk mengembalikan orang-orang Rohingya.

"Kami berharap hal ini akan menghasilkan MOU yang segera ditandatangani, yang akan memungkinkan kita untuk memulai mengembalikan semua orang yang melintasi perbatasan secara sukarela dan aman," kata Suu Kyi.

Menteri Luar Negeri China juga menghadiri pertemuan di Naypyidaw, menawarkan dukungan ke Myanmar dan menyarankan rencana tiga tahap yang berfokus pada gencatan senjata, repatriasi dan kemudian solusi jangka panjang.

Anda dapat menyalurkan bantuan di ABC Crisis Appeal.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada