Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Generasi Muda Bicara Soal Pemilu di Australia, Apa yang Beda dengan Indonesia?

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Australia akan menggelar pemilihan umum untuk menentukan pemimpin barunya pada bulan ini. Lantas apa yang mereka pertimbangkan sebelum mencoblos, termasuk di kalangan warga Australia yang memiliki latar belakang dan berasal dari Indonesia?

Pemilihan umum di Australia

  • Pemilihan umum di Australia akan dilakukan tanggal 18 Mei
  • Seluruh warga Australia harus memberikan suara, dan yang tidak bisa dikenai denda
  • Dua partai utama yang bersaing adalah Partai Liberal yang berkoalisi dengan Partai Nasiona dan Partai Buruh

Baca Juga:

Nasya Bahfen adalah sosok yang banyak dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia di Australia, khususnya di kota Melbourne.

Perempuan kelahiran Jakarta ini pindah bersama keluarganya ke Ausralia saat ia berusia dua tahun, tapi baru mendapatkan kewarganegaraan Australia tahun 2006 lalu.

Di Australia sebenarnya diperbolehkan memiliki dua kewarganegaraan, tetapi Nasya tidak bisa mendapatkannya karena hal tersebut tidak diakui di Indonesia.

Baca Juga:

Ia pernah mengenyam pendidikan di salah satu sekolah negeri terbaik di Australia dan mendapat beasiswa dari pemerintah Australia untuk program doktornya, dan kini bekerja sebagai dosen senior di La Trobe University.

Mr Morrison and Mr Shorten set against a black background.
PM Scott Morrison sebagai pimpinan Partai Liberal (belakang) dan pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten.

Foto: ABC News, Georgina Piper

Tapi saat ditanya soal politik Australia, Nasya mengaku kecewa dan kehilangan harapannya dengan politisi yang menurutnya juga dirasakan oleh banyak warga lainnya.

Saat banyak warga Indonesia merasa bingung siapa yang harus dipilih pada pemilu kemarin, Nasya mengatakan politik di Australia lebih mudah ditebak.

"Kebanyakan orang tahu, jika memilih Koalisi, maka Anda berikan suara untuk kebijakan yang konservatif secara ekonomi dan mungkin konservatif secara sosial, jika hak partai mendominasi."

Lantas adakah partai yang menyuarakan aspirasi Nasya dan menjadi pilihannya pada pemilu tanggal 18 Mei nanti? Jawabnya, "tentunya tidak ada".

"Saya jijik dengan pendirian Koalisi soal pengungsi dan imigrasi yang memicu xenophobia, sementara Partai Buruh sebelumnya membela sesuatu tapi sekarang tidak menawarkan sesuatu yang berbeda."

Nasya tinggal di kota Melbourne, yang perwakilannya di parlemen adalah Adam Brandt dari Partai Hijau.

"Partai Hijau mungkin jadi partai yang terdekat dengan posisi saya dalam banyak hal," ujarnya, yang juga mengaku peduli dengan lingkungan tetapi seorang kapitalis sejati.

Benjamin Djung
Benjamin lebih melihat seberapa aktif politisi di kawasan ia tinggal dan kebijakan yang ditawarkannya.

Foto: Koleksi pribadi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sikap politik Nasya berbeda dengan Benjamin Djung, yang lahir di Australia dari orang tua yang berasal dari Indonesia.

"Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga pemilik bisnis kecil dan percaya dengan pajak lebih rendah, saya merasa filosofi dan kebijakan Partai Liberal Australia adalah yang terbaik untuk aspirasi saya, komunitas dan bangsa ini."

Dalam menetukan pilihan politiknya, baik perwakilan di parlemen atau di senat, Benjamin mengaku ada dua hal yang jadi pertimbangannya.

Hal lain yang ia lihat adalah komitmen dari para politisi dalam kebijakan yang ia dukung.

"Saya menginginkan seorang kandidat yang mengakui peluang ekonomi di Abad Asia," ujarnya yang kini bekerja di perusahaan hukum dan pengacara di Melbourne.

"Contohnya, [yang mendukung kebijakan] perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia dan mendukung pengajaran bahasa-bahasa Asia di sekolah-sekolah.

Kebingungan politik
Studi di Australia menemukan anak-anak muda di Australia tidak terlalu peduli dengan pemilihan umum, meski mereka tertarik dengan politik.

Ilustrasi: ABC Life, Nathan Nankervis

Suhu perpolitikan yang memanas jelang pemilu tidak hanya dirasakan di Indonesia, saat banyak warga mengaku mengalami keregangan hubungan pertemanan, bahkan persaudaraan.

Begitu pula di Australia, banyak warga yang mulai pusing dan muak dengan masa kampanye dan Benjamin mengaku sering berdebat dengan keluarga dan teman-temannya.

"Tak semua anak muda mendukung kebijakan atau filosofi politik yang saya dukung, yakni pasar bebas, tanggung jawab dan kebebasan pribadi," katanya.

"Tapi inilah keindahan demokrasi, kemampuan untuk berbagi dan memperdebatkan ide-ide dengan rasa hormat tanpa takut dibalas," ujarnya, dengan mengatakan apa yang dilakukan warga Australia adalah untuk menjadikan negaranya sebagai negara yang lebih baik.

Sementara Nasya mengaku jika keluarganya tidak banyak berbicara soal politik, karena orang tuanya adalah berkewarganegaraan Indonesia dan saudara kandungnya mendukung Partai Buruh.

Ikuti berita-berita seputar kampanye dan pemilu Australia 2019 di situs ABC Indonesia.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada