Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Mampukah Indonesia Jadi Mediator Taliban dan Pemerintah Afghanistan?

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Pertemuan antara Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) dengan delegasi Taliban dari Afghanistan di Jakarta pekan lalu (27/7/2019) disambut positif sejumlah pihak. Meski diharapkan berperan sebagai mediator, Indonesia bisa terganjal sejumlah keterbatasan.

Poin Utama Taliban

Poin utama:

  • Pertemuan JK-delegasi Taliban disambut positif sejumlah kalangan
  • Indonesia harus berani menempatkan dirinya sebagai penengah konflik sehingga posisinya tidak diremehkan
  • Tantangan bagi Indonesia adalah keterbatasan jaringan atau network di tengah hadirnya aktor internasional dalam konflik Afghanistan

Kedatangan delegasi Taliban ke Indonesia dipimpin Kepala Biro Politik Mullah Abdul Ghani Baradar, yang juga wakil dari pemimpin Taliban di Afghanistan.

Baca Juga:

Media setempat melaporkan, delegasi Taliban lainnya terdiri atas Abdussalam Hanafi (wakil kepala biro politik), Syekh Amir Khan Muttaqi (anggota dewan syura) Mullah Nur Ulaa Nuri (anggota biro politik dan mantan menteri informasi), Syekh Abdul Haq Wasiq (anggota biro politik dan mantan gubernur), Syekh Khair Ulla Khaikhwa (anggota biro politik dan mantan wakil kepala badan intelijen), Muhammad Suhail Syahin (juru bicara Taliban dan mantan menteri dalam negeri), serta Ali Shed (pengawal Mullah Baradar).

Sementara Wapres JK ditemani oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

Tidak ada keterangan resmi dari Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) maupun Kantor Wakil Presiden RI yang diterima ABC mengenai maksud dan tujuan dari kunjungan ini.

Baca Juga:

Kemenlu RI melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, hanya membenarkan adanya pertemuan tersebut kepada awak media.

"Coba ditanyakan ke kantor wapres ya," ujar Faizasyah ketika ABC menanyakan bahasan utama dari komunikasi JK-Menlu dan delegasi Taliban, Selasa (30/7/2019).

Namun dari pemberitaan media berbahasa Pashto di Afghanistan, yakni nunn.asia, disebutkan pertemuan membahas sejumlah isu di antaranya perdamaian Afghanistan dan perlunya persatuan umat Islam.

Media lokal di Afghanistan itu juga menulis bahwa sejumlah negara Islam dan negara di kawasan telah memperluas hubungan mereka dengan Taliban.

Negara-negara ini, terlepas dari menerima Taliban sebagai perwakilan resmi, juga membahas masa depan Afghanistan bersama mereka.

Media lainnya melaporkan bahwa, selain menemui Wapres JK delegasi Taliban itu juga sempat salat di Masjid Sunda Kelapa, Masjid Istiqlal, dan bertemu Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan MUI.

Pengamat politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Nanto menilai pertemuan ini bermakna bahwa masyarakat Afghanistan memandang Indonesia mampu bertindak sebagai penengah.

Ia juga mengatakan Indonesia memang memposisikan diri untuk membantu perdamaian di Afghanistan.

Nanto bahkan memaparkan Indonesia punya potensi mengulang kesuksesan Jakarta Informal Meeting (2016) saat mengurai konflik Kamboja.

Tanggapan positif juga datang dari anggota Komisi I DPR RI yang membawahi urusan luar negeri, Dave Laksono.

Kepada ABC (30/7/2019), politikus Partai Golkar ini mengatakan hadirnya Indonesia dalam proses mediasi konflik yang berusia 20 tahun tersebut bisa berdampak luas.

Nanto
Sri Nanto.

Supplied

"Dan ini bisa membantu juga memberantas segala macam kelompok-kelompok ekstrim radikal yang berkembang di seluruh dunia," kata lulusan universitas di Amerika Serikat ini.

"Semoga ini membuka chapter baru perdamaian di mana Indonesia berperan," tutur Dave yang juga putra mantan Ketua DPR Agung Laksono.

Meski demikian, Sri Nanto menjelaskan Indonesia harus berhati-hati dalam mengemban tugas internasionalnya. Apalagi mengingat sejarah politik di Afghanistan sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Secara sejarah, Afgan memang negeri yang sulit ditaklukan oleh orang luar, sejak zaman Alexander the Great," jelasnya.

"Oleh karenanya sering dianggap sebagai buffer zone bagi kepentingan yang lebih besar namun juga bukan berarti di sana tidak ada modal sosial yang dapat dijadikan landasan bagi pembangunan perdamaian."

Indonesia, sebut Nanto, harus berani menempatkan diri sehingga posisinya tidak diremehkan, mengingat kehadiran aktor internasional lain dalam konflik itu, seperti AS dan Iran.

"Artinya penggalangan (aktor) domestik ini, pada saatnya, akan melibatkan kesediaan dan kepentingan aktor internasional," jelasnya.

"Namun begitu ada tantangan lainnnya terkait dengan keberadaan aktor internasional, itu yang membedakan dengan kasus JIM sebagai best practice (tata kelola yang baik)."

Tantangan lainnya bagi Indonesia adalah keterbatasan jaringan atau network di tengah hadirnya aktor internasional.

"Indonesia di konflik Afghan boleh dikatakan memiliki networks (jaringan) yang relatif lebih terbatas dibandingkan dengan (di konflik) Kamboja."

Dalam perwujudan perdamaian, kata peneliti LIPI ini, jaringan dan kepercayaan terhadap semua pihak menjadi kunci penting

Indonesia memang diminta

Pertemuan JK dengan Taliban tidak diliput secara resmi oleh media di Indonesia.

Situs resmi kantor sekretariat Wakil Presiden RI sempat mengunggah berita dan gambar mengenai pertemuan ini pada 27 Juli 2019, namun kemudian ditarik pada hari yang sama.

Terkait hal ini, sumber ABC di Istana Kepresidenan mengatakan undangan peliputan resmi tidak dilakukan karena Taliban bukanlah pemerintah.

Presiden Jokowi saat berkunjung ke Afghanistan (2018) dan menemui Presiden Ashraf Gani.
Presiden Jokowi saat berkunjung ke Afghanistan (2018) dan menemui Presiden Ashraf Gani.

Twitter; @jokowi

Sumber ABC itu juga membenarkan peran Indonesia sebagai mediator dalam konflik di Afghanistan.

"Sudah diminta resmi oleh (Presiden Afghanistan) Ashraf Gani saat berkunjung ke Indonesia dua tahun lalu," jelasnya melalui pesan teks.

Menurut Nanto, terbatasnya informasi mengenai kunjungan Taliban bisa jadi bagian dari rencana besar.

"Mungkin justru dianggap belum saatnya megaphone diplomacy. Itu yang harus kita hargai."

Kunjungan delegasi Taliban ke Indonesia berdekatan dengan pertemuan perdana Kelompok Kerja Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk Perdamaian dan Dialog, yang diselenggarakan 29-30 Juli di Jakarta.

Simak berita terkait studi, kerja, dan tinggal di Australia hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada