Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Pasal Zina Dan "Kumpul Kebo" Dalam RKUHP Berpotensi Lahirkan Penegak Moral

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR Indonesia menuai kontroversi. Sejumlah pasal di dalamnya dianggap membelenggu kebebasan sipil, di antaranya pasal soal perzinaan dan samenleven atau yang dikenal sebagai kumpul kebo.

Dua pasal itu tercantum dalam BAB XV Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP.

Baca Juga:

Dalam ayat satu-nya, Pasal 417 yang mengatur soal perzinaan menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."

Sementara dalam ayat satu di Pasal 419 yang mengatur soal kohabitasi atau samenleven disebutkan bahwa "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

Denda dengan kategori yang dimaksud berjumlah sekitar Rp 50 juta.

Baca Juga:

Permasalahannya, menurut Sekar Banjaran Aji dari ELSAM, jurang pemahaman di antara para penegak hukum dalam membaca pasal dalam RKHUP sangatlah besar.

"Akan terjadi kekacauan besar terutama terkait pasal yang hidup di masyarakat," imbuhnya.

Selain itu, Sekar memaparkan hal yang perlu disoroti dari pasal pertama (417) adalah adanya wewenang orang tua untuk mengadukan anak-anaknya.

"Dengan mengatur delik ini sebagai delik aduan yang bisa diberikan oleh orang tua, kemungkinan yang akan terjadi adalah peningkatan jumlah perkawinan anak," sebutnya kepada ABC.

Sekar mengatakan penilaian itu didasari oleh hasil riset Koalisi 18+ di tahun 2016 yang menyebutkan 89 persen permohonan perkawinan anak dilakukan atas dasar permintaan orang tua, karena orang tua khawatir anaknya akan berzina.

Salah satu pasal kontroversial dalam RUU KUHP adalah larangan aborsi bagi perempuan, tak terkecuali korban perkosaan.
Salah satu pasal kontroversial dalam RUU KUHP adalah larangan aborsi bagi perempuan, tak terkecuali korban perkosaan.

ABC; Archicco Guiliano

Ia juga mengutip data Pusat Studi Kajian Gender Universitas Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di tahun yang sama terkait perkawinan anak itu.

"Tingginya angka perkawinan anak sejalan dengan tingginya angka putus sekolah dan kematian Ibu karena sistem reproduksi dari anak perempuan yang menjadi calon Ibu belum mumpuni untuk melakukan persalinan," jelasnya.

Sama halnya dengan Pasal 417, Pasal 419 juga menggunakan delik pengaduan. Dalam hal ini, pengaduan bisa diajukan oleh kepala desa atau pejabat sejenis dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang diadukan.

"Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP juga kontra produktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti," paparnya.

Lahirnya 'penegak moral'

Pada hari Selasa (17/9/2019), Majelis Ormas Islam (MOI) menggelar konferensi pers di Jakarta terkait RKHUP.

MOI menuntut DPR agar segala perbuatan yang mereka anggap perzinaan dan cabul di antara manusia yang berlawanan jenis maupun yang sesama jenis tetaplah tindakan pidana meskipun tidak dilakukan tidak di depan umum atau ruang tertutup, tidak dilakukan secara paksa, tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan meski korban melakukannya dengan sukarela.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Perbuatan perzinaan dan perbuatan cabul yang diketahui masyarakat, dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau ketua RT/RW," kata Wakil Ketua Presidium MOI, Nazar Haris (17/9/2019), merespon delik aduan dalam pasal 419 yang hanya boleh dilakukan jika tak ada keberatan dari orang tua, anak, atau pasangan dari pihak yang diadukan.

Sekar Banjaran Aji dari ELSAM
Sekar Banjaran Aji dari ELSAM (pojok kanan) bersama rekan-rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Revisi KUHP. Koalisi ini menilai RUU KUHP berpotensi membelenggu kebebasan sipil.

Supplied

Menanggapi seruan MOI tersebut, Sekar mengatakan pasal perzinaan dan kohabitasi dalam RKUHP memang rentan memunculkan 'penegak moral' baru, tak hanya terbatas pada Kepala Desa, seperti mandat pasal.

Aksi MOI itu dan konteks meningkatnya gerakan Islam, sebut Sekar, bisa membuat dua pasal tadi memperbesar peluang perpecahan serta konflik horizontal di tengah masyarakat.

"Melihat riset Puskapa di tahun 2017 bahwa lebih dari 50 persen pasangan yang menikah di Indonesia tidak memiliki bukti perkawinan, dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan, di daerah terpencil, mengalami disabilitas, atau pemeluk agama atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui oleh Pemerintah," kemukanya.

Ranah privasi yang ditarik ke luar

Pakar hukum Anugerah Rizki Akbari mengatakan pasal 417 dan 419 dalam RKHUP itu menimbulkan kekhawatiran bahwa persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga semacam 'dipromosikan' untuk diselesaikan dalam jalur pidana.

"Baru kalau enggak bisa, hukum pidana bisa masuk," ujar dosen di Sekolah Hukum Jentera ini.

Kriminalisasi tersebut, kata Anugerah, tidak jelas arahnya. Ia membenarkan pemaparan Sekar bahwa di Indonesia, masih banyak sekali terdapat perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pasangan.

"Jadi ketika dia tidak bisa membuktikan dirinya itu adalah pasangan yang sah dan biasanya pembuktiannya itu adalah dengan menggunakan pencatatan dari negara, maka itu juga berpotensi diproses."

Dalam konteks ini, sebut Anugerah, batasan privasi yang dimiliki oleh individu menjadi terancam.

Hal yang lebih penting adalah nilai pencelaan terhadap perbuatan yang termuat dalam sanksi pidana.

"Jadi dengan memberikan sanksi pidana terhadap perbuatan, kaya misalnya tadi kohabitasi, maka kita memberi justifikasi bahwa perbuatan itu betul-betul tercela," jelas Anugerah, yang biasa disapa Eki ini.

"Karena perbuatan itu betul-betul tercela maka dia akan memberikan stigma."

Meski stigma dan pencelaan tersebut, dalam konteks formalnya, dijalankan oleh aparatur negara seperti polisi, jaksa dan hakim di pengadilan, pembuat RKHUP serta masyarakat juga harus mengantisipasi respon-respon sosial terhadap perbuatan tersebut.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada