Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim meyakini dihapusnya ujian nasional di Indonesia akan lebih memerdekakan guru dan sekolah dalam mengases keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan mereka.
Penghapusan Ujian Nasional di Indonesia
- Ujian nasional dilakukan pertama kali tahun 2003 sebagai metode untuk menentukan syarat kelulusan siswa di tingkat SD, SMP dan SMA
- Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memutuskan menghentikan Ujian Nasional mulai tahun 2021
- Beberapa murid dan guru menyambut baik penghapusan ujian nasional tersebut
Namun tingkat kesiapan sekolah dan pengajar masih beragam menyikapi kemerdekaan yang ditawarkan satu-satunya menteri milenial di kabinet Indonesia Maju ini.
Belum genap tiga bulan sejak didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim melakukan terobosan signifikan pada dunia pendidikan nasional dengan secara resmi menghapus ujian nasional.
Dalam Rapat Koordinasi Mendikbud dengan Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia di Jakarta, Rabu (11/12/2019), Nadiem Makarim menegaskan tahun 2020 merupakan terakhir kali diselenggarakan Ujian Nasional dengan format yang selama ini berlaku.
Mulai tahun 2021 ujian nasional diganti dengan mekanisme penilaian kompetensi minimum dan survei karakter.
Nadiem menjelaskan, penilaian kompetensi minimum tidak lagi didasarkan pada mata pelajaran lagi tapi disederhanakan menjadi dua hal yakni literasi dan numerasi.
"Itu yang penting! dan numerasi yang merupakan kemampuan menganalisis angka-angka." tegas Nadiem.
Berbeda dengan mekanisme UN selama ini yang sentralistik alias disediakan oleh negara, pelaksanaan penilaian pengganti UN ini diserahkan sepenuhnya kepada sekolah.
"Di UU pendidikan kita jelas disebutkan evaluasi penilaian siswa dilakukan oleh guru dan asesmen untuk kelulusan ditentukan oleh sekolah."
"Jadi hal-hal seperti soal ujian yang tadinya datang dari Kemendikbud atau Pusat itu sudah tidak ada paksaan lagi." kata Mendikbud di Jakarta.
"Jadi sekolah seperti banyak sekolah saat ini punya sistem penilaian sendiri yang lebih holistik gak hanya pilihan ganda saja, bisa lewat esay, projek, hasil karya."
" Bayangkan berapa banyak inovasi yang bisa dilakukan sekolah dan guru penggerak."
"Jadi semangatnya adalah mengembalikan esensi UU kita untuk memberi kemerdekaan sekolah dalam menginterperetasikan kompetensi dasar kurikulum menjadi penilaian mereka sendiri yang lebih cocok untuk murid mereka, untuk daerah mereka dan untuk kebutuhan pembelajaran mereka." kambahnya.
Kesiapan beragam
Tawaran konsep pendidikan yang lebih memerdekakan sekolah dan guru ini ditanggapi beragam.
Guru sekaligus Wakil Kepala Sekolah SMPN 30 Jakarta Utara, Irwan Mainur misalnya mengaku sebagai pengajar dirinya telah terbiasa dengan kebijakan pendidikan yang sering sekali bergonta ganti.
Namun menurutnya pihak guru dan sekolah perlu lebih disiapkan agar bisa menerapkan konsep Pendidikan Belajar Merdeka yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim ini secara benar.
"Walau perubahan itu katanya meringankan dan memerdekakan guru dalam mengajar, namun pada prakteknya akan sangat merepotkan karena guru dituntut untuk berkreasi tapi di sisi lain ada banyak tugas administrasi yang harus dikerjakan dan gak ada habis-habis." Ungkapnya.
"Sekolah juga harus membuat penilaian sendiri, membuat soal itu bukan perkara mudah. Itu gak boleh sembarangan, gak boleh sekedar bikin soal, tapi harus ada sisi psikologi, guru harus kreatif mencari cara yang bisa menggelitik nalar siswa."
Untuk mengantisipasi hal ini, guru Bahasa Inggris ini menilai kapasitas dan wawasan guru perlu ditingkatkan.
"Guru perlu diberi kesempatan untuk meningkatkan potensinya melalui pelatihan di Lembaga professional. Diberi kesempatan untuk mencari referensi variasi metode belajar dan materi pembelajaran yang kreatif dari Lembaga pendidikan lain baik di dalam maupun luar negeri." tambahnya.
Sementara pendidik yang lain mengaku gembira dengan kebijakan pendidikan yang baru dirilis Mendikbud baru ini.
Yuli Pinasti, founder Sekolah Alam Kampung Sawah di Depok, Jawa Barat menyebut ujian nasional memang tepat dihapuskan.
"Padahal setiap anak memiliki potensi unik masing-masing." tutur Yuli Pinasti kepada ABC.
"Dan jika mengacu ke UU No. 2 thn 2003 pasal 3, fungsi pendidikan itu kan agar setiap orang itu mampu mengembangkan potensi uniknya, bukan diseragamkan untuk menjadi sama semua yang tercermin di sistem UN selama ini." tambahnya.
Yuli Pinasti mengaku konsep pembelajaran di sekolahnya sudah mengadopsi kebijakan baru ini Mendikbud Nadiem Makarim.
"Dengan format penilaian baru ini menurut saya sekolah harus open minded, harus berani move on untuk mengubah kurikulum old-nya menjadi kurikulum kekinian. Sekolah harus berani mengambil langkah dan harus mau bekerja sama dengan orangtua dalam melakukan observasi minat anak agar valid hasil observasinya." Katanya.
Sadar dengan beragamnya tingkat kesiapan ini, Nadiem Makarim menyatakan metode pengganti UN ini sebagai opsi. Sekolah yang merasa belum mampu melaksanakannya berhak untuk tetap melaksanakan penilaian dengan metode UN yang lama.
"Ini sepenuhnya hak sekolah, kalau belum siap berhak pakai sistem UN lama, tapi bagi sekolah yang sudah siap, kesempatan ini jangan disia-siakan." tegas Menteri berusia 35 tahun ini.
Selain menghapus UN, kebijakan Belajar Merdeka Mendikbud Nadiem Makarim juga mencakup aturan baru seputar sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru dan pedoman penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) oleh guru dan sekolah.
UN tidak berguna
Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2003 lalu, Ujian Nasional (UN) yang digunakan sebagai metode untuk menentukan syarat kelulusan siswa di tingkat SD, SMP dan SMA ini telah lama menuai pro dan kontra.
Selain dinilai salah sasaran, UN juga dipandang sebagai mekanisme yang sangat membebani siswa dan anggaran. Tahun 2019 ini saja, pelaksanaan ujian nasional menyedot anggaran hingga Rp210 Miliar. Sementara menurut pengamat pendidikan, Budi Trikorayanto pelaksanaan UN selama ini tidak berguna.
"Padahal UN saat ini tidak berguna, pemborosan juga. Untuk penerimaan di PT (Perguruan Tinggi) tidak dipakai (SNMPTN pakai rapor, SBMPTN pakai tes sendiri) yang dilihat SKHUN (surat Keterangan Hasil Ujian Nasional)," sambungnya.
Apresiasi atas penghapusan UN ini juga disampaikan Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang dalam rilisnya menyatakan Ujian Nasional (UN) tepat dihapuskan.
Mereka mengatakan mekanisme UN selama ini menghambat anak-anak di Indonesia mengembangkan kemampuan daya nalar mereka dan juga tidak mendorong anak didik mengembangkan minat dan bakatnya.
Sebaliknya orientasi belajar mereka hanya pada kelulusan.
"Tetapi yang mereka lakukan adalah melakukan segala macam cara untuk mendapatkan nilai tinggi di ujian nasional. Sehingga UN turut berpartisipasi terhadap semakin menurunnya kemampuan anak-anak. Jadi UN tidak membuat pendidikan kita lebih baik, karena orang-orang pada belajar hanya untuk bagaimana lulus ujian," kata Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu sejumlah pelajar menyambut gembira dihapuskannya Ujian Nasional.
"Tapi biasanya tetap dijadikan tolok ukur orang pinter apa gak, saya gak terlalu setuju dengan itu, soalnya minat orang kan beda-beda harusnya tidak disama ratakan," kata Prameswari, 15 tahun, siswi kelas 11 SMA 3 Jakarta.
"Harusnya emang dihapus aja, biar gak terlalu banyak ujian, soalnya di kelas 12 kita dipush macam-macam ujian, sebelum UTBK, ada ujian praktek, uas, belum lagi ntar ujian cari sekolah lagi. Pusing dan stress banget," kata Aulia Damayanti, 16 tahun, siswi SMA di Jakarta lainnya.
Dengan dihapuskannya ujian nasional, sistem pendidikan di Indonesia mengikuti sejumlah negara lain yang juga telah meniadakan ujian akhir seperti Singapura, Jepang, Jerman, Finlandia dan juga Australia.
Simak berita-berita lain dari ABC Indonesia