Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

'Dia ke Gereja, Saya ke Masjid': Pasangan Indonesia di Adelaide Rayakan 50 Tahun Pernikahan

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Mungkin tak banyak pasangan suami-istri yang menikah beda agama dan bisa langgeng menjalin rumah tangganya, seperti yang dialami pasangan Suharto dan Ursula Kusmidiarti yang kini tinggal di Adelaide, Australia Selatan.

Pasangan asal Indonesia ini merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 mereka pada tahun 2019. Suharto masih tetap memeluk agama Islam sampai sekarang, sementara Ursula juga tetap beragama Katolik.

Suharto dan Ursula Kusmardiati menikah di Madiun di tahun 1969
Suharto dan Ursula Kusmardiati menikah di Madiun di tahun 1969

Baca Juga:

Foto: Dok keluarga

Mereka meninggalkan Indonesia di tahun 1969 bukan karena menghindari negeri tersebut karena perbedaaan agama.

Menurut mereka, kunci keberhasilan membina pernikahan yaitu dengan menggangap perbedaan bukanlah hal yang perlu dipersoalkan.

Baca Juga:

Selama 50 tahun terakhir, rumah mereka di kawasan Holden Hill malah menjadi rumah yang terbuka bagi siapa saja untuk warga Indonesia maupun yang lain.

Suharto menikahi Ursula pada tanggal 19 September 1969 di Madiun (Jawa Timur), hanya beberapa bulan sebelum Suharto yang ketika itu berusia hampir 30 tahun pindah ke Australia.

"Rencana saya ketika itu untuk pindah ke Australia sudah lama, karena saya ingin merasakan tinggal di negara lain. Ketika saya menjelaskan rencana kepindahan tersebut, orangtua mengatakan sebaiknya saya menikah dulu," kata Suharto (80 tahun) dalam percakapan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya.

Suharto sebelumnya sudah lama mengenal Ursula, karena Suharto ketika sekolah beberapa tahun di Malang, tinggal di rumah nenek Ursula.

"Saya sudah mengenal banyak keluarga lainya di Madiun, dan kemudian ketika saya pindah ke Jakarta, saya bertemu lagi Ursula, yang beberapa tahun lebih muda, dan kemudian kami lebih dekat," tuturnya.

Suharto mengatakan upacara pernikahan mereka dilangsungkan dua kali.

"Waktu itu tidak ada masalah soal agama. Kita kawinnya lewat cara Islam dan kemudian cara Katolik di gereja. Dua kali upacaranya," kata Pak Harto, panggilan akrabnya.

Setelah pernikahan tersebut, ia juga tidak pernah mempertentangkan perbedaan agama dengan istrinya.

"Saya tidak prnah bersikeras mengenai masalah agama. Dia ke gereja tetap ke sana, saya juga tetap ke mesjid sampai sekarang."

Keluarga Suharto memiliki dua anak Sonny dan Ade.
Keluarga Suharto memiliki dua anak Sonny dan Ade dan menghadiri wisuda program Diploma Sonny dari Monash University di tahun 2016

Foto: Dok keluarga

Pindah ke luar negeri bukan karena perbedaan agama

Suharto mengatakan kepindahan keluarga barunya ke Australia bukanlah disebabkan karena perbedaan agama tersebut.

Suharto di tahun 1960-an sudah bekerja di perusahaan bernama Hutama Karya dan setelah beberapa tahun merasa bahwa karirnya di perusahaan tersebut tidak akan berkembang hebat karena jenjang karir yang terbatas.

Suharto pada awalnya menulis kepada sekitar 20 negara untuk menyatakan keinginannya tinggal di luar, namun pilihan pertama tersebut tidak termasuk Australia.

"Kebetulan di Hutama Karya waktu itu ada Pak Subagio yang menyarankan untuk pindah ke Australia, dan banyak membantu kepindahan saya ke Adelaide," katanya.

Dalam perjalanan pernikahan, pasangan Suharto-Ursula dikarunia dua anak, Sonny yang lahir di tahun 1974 dan Ade di tahun 1978.

Keduanya dibesarkan dalam acara Katolik, dan Suharto juga mengatakan semuanya demi kepraktisan.

Ketika tiba di Australia di awal tahun 1970-an Suharto tidak menngalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

"Cari kerja gampang sekali, kerja apa saja tersedia asal mau. Ketika tiba pertama kali di Sydney saya dapat 3 pekerjaan," katanya.

Sebelum ke Australia, Suharto sudah mengajukan lamaran ke sekitar 10-15 perusahaan di Australia dan mendapat jawaban diterima di sebuah perusahaan pembuat biskuit Arnotts yang juga memiliki pabrik di Adelaide.

Banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan

Bila perbedaan agama dalam kehidupan kadang menimbulkan masalah, bagi keluarga Suharto boleh disebut membuat rumah mereka menjadi tempat dimana masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang agama dan etnis sering berkumpul.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini salah satunya disebabkan karena selain bekerja, Suharto juga banyak terlibat dalam organisasi kemasyarakatan yang ada di Adelaide.

Salah satunya adalah AIA (Australian Indonesia Association), perkumpulan persahabatan warga Indonesia dan Australia.

"Sejak kecil saya sudah terbiasa melihat ayah saya bergaul dengan banyak orang. Rumah kami di Madiun 24 jam terbuka untuk siapa saja. Ayah saya dulu adalah Ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) Karesidenan Madiun. Dia juga banyak membina tim olahraga voili, bulutangkis dan yang lain," kata Suharto.

Dengan kebiasaan itu, Suharto juga memberlakukan hal serupa bagi rumahnya di Adelaide, yang selalu menyelenggarakan Open House dua tahun sekali, Lebaran dan Natal.

"Saya ketularan ayah saya. Pernah saya kedatangan seorang anak dari Kalimantan yang kesasar mau ke Sydney malah sampai ke Adelaide. Dia menginap di rumah dan besoknya saya antar lagi ke bandara," kata Suharto.

Suharto dan Ursula merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 dengan teman-teman di Adelaide
Suharto dan Ursula merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 dengan teman-teman di Adelaide.

Foto: Dok keluarga

Sesampainya di Adelaide, Suharto juga kemudian terlibat dalam kegiatan AIA bahkan sejak hari pertama di sana.

"Saya senang sekali bisa terlibat dalam kegiatan di AIA dan saya ketua paling lama di AIA berapa puluh tahun saya jadi ketua," tambahnya.

Salah seorang penggagas Indofest

Saat ini di Adelaide setiap tahun diselenggarakan Indofest yang sudah dimulai sejak tahun 2008, festival yang pernah dijuluki sebagai festival terbesar mengenai Indonesia yang diselenggarakan di luar Indonesia.

"Saya yang pertama menggagas Indofest. Sebagai warga Indonesia yang tinggal di sini dulu saya melihat masyarakat dari etnis lain, misalnya Italia, Yunani, Hong Kong, Malaysia, Singapura dan yang lain yang bisa buat festival, Indonesia kan sebenarnya lebih hebat mengapa tidak ada?' katanya.

Kegiatan lain yang juga digagas Suharto adalah menciptakan wadah bagi warga Indonesia yang sudah berumur di Adelaide untuk berkumpul dan bersosialisasi secara teratur, yang dinamakan Kelompok Lansia.

"Lansia mulai bertemu teratur di tahun 2000-an untuk menjadi sarana berkumpul, makan-makan dan ngobrol, yang bertemu 2-3 bulan sekali," tambahnya.

Dari perkumpulan lansia ini kemudian muncul pula kegiatan lain yaitu bermain angklung, dan sekarang sebuah kelompok bernama Adelindo Angklung secara teratur tampil di berbagai festival.

Salah seorang warga asal Indonesia di Adelaide adalah Johnny Soetanto yang sudah tinggal di sana lebih dari 40 tahun.

"Saya sudah kenal pak Suharto dan ibu Ursula sejak akhir tahun 1970an. Mereka berdua adalah salah satu dari sesepuh masyarakat Indonesia di Adelaide," kata Johnny.

"Pasangan ini adalah pasangan yang ideal, pak Suharto beragama Islam dan ibu Katolik Roma. Tapi sangat serasi dan penuh toleransi."

"Pasangan yang bisa jadi panutan bagi kami yang lebih muda. Merka tidak pernah mencaci maupun melontarkan kata-kata yang kasar tentang orang lain," kata Johnny lagi.

Ursula (kiri) dan Susana Kodhyat (dua dari kanan) sama-sama bermain angklung di Adelindo Angklung
Ursula (kiri) dan Susana Kodhyat (dua dari kanan) sama-sama bermain angklung di Adelindo Angklung, yang tampil di berbagai acara.

Foto: Susanna Khodyat

Warga lainya Susana Kodhyat mengenal keluarga Suharto sejak dia pindah ke Adelaide di tahun 1996 dari Bandung.

"Dalam kondisi sekarang sakit kalau dengar musik pasti badannya goyang tidak mau diam," kata Susana.

Ursula terkena stroke beberapa tahun lalu, sehingga tidak lagi bisa bermain angklung.

Sebelumnya, Susana dan Ursula bersama dengan warga asal Indonesia lainnya terlibat dalam kegiatan bermain angklung dalam kelompok bernama Adelindo Angklung, yang sudah banyak tampil di berbagai festival budaya di seluruh Australia.

Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada