Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Perlukah Pemerintah Indonesia Ikut Mengatur 'Penyimpangan Sosial' Lewat UU?

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga memuat banyak aspek soal kehidupan keluarga Indonesia. Yang paling menjadi sorotan adalah adanya pasal soal penyimpangan seksual.

RUU Ketahanan Keluarga berisi aturan soal bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga bila mengalami masalah keuangan, pembagian kerja dan tugas suami istri, perceraian, penyakit parah, hingga kematian.

Baca Juga:

Namun pemerintah turun tangan juga soal penyimpangan seksual, seperti yang diungkap dalam pasal 85.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa "penyimpangan sosial" adalah dorongan atau kepuasan seksual yang ditunjukkan "tidak lazim atau dengan cara tidak wajar".

Sadisme, masokisme, homoseks dan lesbian serta 'incest' adalah lima praktek yang masuk ke dalam kategori penyimpangan sosial.

Baca Juga:

Jika ada anggota keluarga yang melakukan satu diantaranya, maka keluarga harus melaporkan pelaku hingga dapat ditangani oleh kepala badan ketahanan keluarga atau dikirim ke pusat rehabilitasi untuk dirawat.

Tapi, kekerasan dalam rumah tangga tidak dimaknai sebagai potensi yang mengancam keluarga.

"Ini sangat problematis, yang pada akhirnya, sasarannya adalah kelompok minoritas seksual," katanya kepada Hellena Souisa dari ABC.

Menolak disebut RUU bermasalah

Walau belum tentu disahkan, RUU tersebut awalnya didukung oleh beberapa partai, seperti Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional , serta Partai Keadilan Sejahtera.

Ledia Hanifa Amaliah, anggota PKS yang mengusung draf tersebut menilai perilaku penyimpangan seksual telah berdampak terhadap terikikisnya nilai Agama dan sosial budaya.

Sementara itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani tidak mendukung RUU ini.

"Sepintas saya membaca drafnya merasa ranah privat rumah tangga terlalu dimasuki, terlalu diintervensi," katanya dalam Rapat Pleno MUI di Jakarta (19/2).

Women, mostly dressed in white, undertake evening prayers for Ramadan, while a man stands smoking.
Banyak pihak telah menuduh Indonesia menjadi semakin konservatif dalam menjalankan agama.

AP: Dita Alangkara

Rahayu Saraswati, yang biasa disapa Sara, anggota partai Gerindra punya pendapat sendiri.

"Hal positif yang bisa diambil dari RUU ini adalah niat baik untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan mungkin bisa memberikan solusi."

Namun Sara tidak menampik jika RUU ini disahkan, akan jatuh "korban" dari RUU, yakni mereka yang "dipaksa" menjalani rehabilitasi.

Karenanya, ia meminta anggota DPR untuk memikirkannya dengan lebih baik.

Dalam RUU tersebut, tercatat juga Pegawai Negeri Sipil perempuan dan karyawan perusahaan negara akan diberikan enam bulan cuti melahirkan yang dibayar.

Namun, selama cuti ini, mereka diwajibkan untuk mengurus suami dan anak sebaik mungkin sesuai aturan agama.

Musatghfiroh mengatakan peraturan ini beresiko membebani perempuan dua kali lipat.

Anggota Gerindra Rahayu Saraswati mengatakan rancangan tersebut perlu ditinjau ulang, tapi menolak menyebut menyebutnya sebagai RUU yang 'bermasalah'.

Partai Golkar tarik dukungan

Sementara itu, fraksi Partai Golkar DPR RI merasa kecolongan karena anggotanya, Endang Maria Astuti, tercatat sebagai salah satu pengusung RUU Ketahanan Keluarga ini.

Nurul mengatakan, sebelum mengusulkan sebuah RUU, seharusnya Endang mempresentasikan terlebih dulu usulannya kepada fraksi.

Terkait beberapa pasal dalam RUU yang dianggap problematik, Nurul mengatakan tidak seharusnya negara mengintervensi urusan domestik seperti cara mengurus dan mengasuh anak.

"Saya melihat RUU ini bertujuan mendidik keluarga secara homogen. Unsur-unsur heterogenitas dinafikkan," kata Nurul.

Hak asasi manusia dipertanyakan

Kelompok seksual minoritas menjadi salah satu kelompok yang berpotensi dirugikan oleh RUU ini.

Indonesian President Joko Widodo smiles.
Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraan di Australia, 10 Februari 2020.

AP: Tracey Nearmy

Padahal, Joko Widodo dalam pidatonya di Parlemen Australia awal bulan ini mengharapkan Indonesia dan Australia terus memperjuangkan nilai-nilai yang diusung hak asasi manusia, toleransi dan keberagaman.

Namun sejak menjabat sebagai presiden di tahun 2014, banyak organisasi dan pengamat hak asasi yang mempertanyakan komitmen Jokowi untuk melindungi HAM.

Keputusan Joko Widodo dalam memilih Ma'ruf Amin, yang pernah menyatakan bahwa homoseksualitas adalah tindakan kriminal, misalnya, dinilai sebagian kalangan sebagai upaya sinis untuk meredam serangan berbasis agama kepada Jokowi pada Pemilu 2019.

Beberapa tahun belakangan, komunitas LGBT di Indonesia telah mengalami penggrebekan oleh polisi di tempat kerja, rumah dan tempat hiburan.

Homoseksualitas tidak dinyatakan ilegal di Indonesia, namun orang-orang dengan orientasi seksual tersebut sering mengalami pelecehan oleh pihak berwenang.

Anti-LGBT protestors stand behind large banner that says "LGBT is not Aceh Local Wisdom".
Protes anti-LGBT di Banda Aceh.

ABC News: Adam Harvey

Tahun lalu, anggota senior dalam kabinet Presiden Jokowi membela keputusan Jaksa Agung untuk menerbitkan lowongan kerja yang tidak menerima kandidat LGBT.

Menurut laporan Human Rights Watch yang terbit bulan lalu, angka HIV dari pria yang berhubungan seks dengan pria meningkat lima kali lipat dari 5 persen menjadi 25 persen.

Data ini kemudian menjadi acuan kelompok anti-LGBT di Indonesia untuk melakukan diskriminasi.

"Aturan baru yang bermasalah nyaris disahkan, aturan lama yang sifatnya 'abusive' atau kejam terus berlaku, dan kaum minoritas tidak mendapatkan perlindungan hukum."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada