Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

'Kisah Unik' Reni Bertemu Lagi Keluarga Australia yang Pernah Membantunya

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Perjalanan kehidupan seringkali tidak bisa diduga arahnya, seperti yang dialami oleh perempuan asal Indonesia, Reni Setianingrum dan keluarganya.

Setelah dibesarkan di panti asuhan di Lombok dengan bantuan biaya yang diberikan sepasang suami istri di Australia, Reni akhirnya bisa bertemu langsung dengan 'orangtua asuh'-nya beberapa tahun kemudian.

Baca Juga:

Reni, sekarang berusia 30 tahunan, lahir di Surabaya, Jawa Timur. Keluarganya pindah ke kota Mataram, Lombok, di tahun 1980-an setelah ayahnya mengalami kesulitan ekonomi akibat kehilangan pekerjaan.

Di Lombok, mereka tinggal di sebuah panti asuhan Kristen bernama Patmos yang mendapat bantuan dana yang disalurkan oleh badan amal dunia, 'World Vision'.

Bantuan yang disalurkan berasal dari berbagai negara, termasuk Australia.

Video Player failed to load.
Tonton kisah Reni yang bertemu dengan 'orangtua asuhnya'...

Play

Space to play or pause, M to mute, left and right arrows to seek, up and down arrows for volume.

Tonton kisah Reni yang bertemu dengan 'orangtua asuhnya' asal Australia sampai ikut antar diwisuda ( Indonesian )

Baca Juga:

Di panti asuhan, Reni, saat itu berusia 7 tahun mendapat bantuan dari keluarga yang disebut 'sponsor' asal Tasmania.

"Kami pindah ke panti asuhan tersebut berenam, ayah, ibu, dan empat anak, dengan anak lainnya dititipkan ke sanak famili," kata Reni dalam percakapan dengan wartawan ABC Sastra Wijaya baru-baru ini.

Ia tinggal di panti asuhan sampai tamat Sekolah Menengah Ekonomi Atas.

Perjalanan Reni bertemu keluarga sponsornya dimulai ketika ia mulai bekerja di sebuah perusahaan tambang di Lombok Newmont.

Ia juga pernah bekerja di negara bagian Queensland dan di kota Adelaide, Australia Selatan.

Saat berada di Australia, Reni mengontak kembali World Vision dan terlibat dalam salah satu kegiatan mereka.

"Salah satu kegiatan mereka adalah mendaki gunung Kilimanjaro di Afrika untuk mengumpulkan dana, dan ketika kontak lagi dengan staf World Vision, saya menceritakan jika dulu saya pernah disponsori oleh keluarga asal Australia," jelasnya.

Reni Setianingrum (kiri) dan Lyn Hewitt di Peru bersama salah satu anak yang disponsorinya lewat World Vision.
Reni Setianingrum (kiri) dan Lyn Hewitt di Peru bersama salah satu anak yang disponsorinya lewat World Vision.

Foto: Supplied

Bertemu dengan keluarga yang mensponsorinya

Reni kemudian berhasil mengadakan kontak dengan keluarga Norm dan Lyn Hewitt, yang tinggal di Hobart, Tasmania.

Mereka bertemu pertama kalinya di tahun 2013. Sejak itu mereka beberapa kali pernah ketemu lagi.

"Pertemuan paling mengesankan adalah ketika saya diwisuda di Melbourne untuk pendidikan lanjutan yang saya jalani di Australia," kata Reni

"Saya mengundang Norm dan Lyn untuk datang, dan dari Indonesia, kedua orang tua saya juga hadir."

Di tahun 2014 keluarga Norm dan Lyn juga datang ke Lombok untuk melihat panti asuhan Patmos yang pernah ditinggali Reni.

Karena pernah menerima bantuan, Reni juga kemudian memutuskan untuk menjadi orangtuasponsor sebagai bentuk terima kasih kepada organisasi yang pernah membantunya.

Sejak tahun 2007, Reni mengirimkan secara teratur bantuan keuangan untuk beberapa anak di Peru di Amerika Selatan.

Reni dan Retno bertemu di Australia di tahun 2015.
Reni (kiri) dan kakaknya Retno saat berada di Queensland Australia di tahun 2015.

Foto: Retno Hand

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Saya pernah menjadi sponsor lima anak, namun saat ini saya menjadi sponsor untuk tiga orang anak," katanya.

Bersama dengan Lyn, Reni mengunjungi anak-anak yang disponsorinya di Peru di tahun 2018.

Reni sudah menganggap Norm dan Lyn seperti orang tua sendiri, rencananya mereka akan berkunjung ke Tasmania untuk bertemu dengan keluarga besar Hewitt.

Reni sekarang menjadi tulang punggung bagi keluarganya di Indonesia, dan juga masih menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu anak-anak yang kekurangan.

Ia merasa bersyukur mengalami semua hal yang pernah dialaminya sampai sekarang.

Menurut Mike Bruce dari World Vision, cerita pertemuan Reni dengan keluarga yang mensponsorinya adalah hal yang unik.

"Karena masalah logistik dan juga hak privasi, tidak banyak anak-anak yang disponsori bertemu dengan orang tua yang membiayai mereka," ujarnya.

"Reni berusaha keras untuk menghubungi orang tua sponsornya dan kemudian dia juga menjadi orang yang memberikan sponsor kepada anak-anak lain di bagian lain dunia," tambahnya.

Kakak Reni juga memiliki pertalian dengan Australia

Retno bersama suaminya Martin Hand dan putri mereka Gabrielle.
Retno bersama suaminya Martin Hand dan putri mereka Gabrielle.

Foto: Retno Hand

Tidak saja Reni yang memiliki hubungan dekat dengan Australia, tapi juga kakak perempuannya, Retno Damayanti.

Retno menikah dengan pria asal Australia, Martin Hand, yang kini tinggal di Ulan Bator, ibukota Mongolia.

Mereka memiliki seorang anak perempuan berusia 7 tahun, bernama Gabrielle.

Retno bertemu suaminya saat ia bekerja di perusahan tambang Newmont Nusa Tenggara, tahun 2003.

Menikah di tahun 2005, mereka pernah tinggal di Madagascar, Las Palmas, Spanyol, dan sekarang tinggal di Mongolia, sejak suaminya bekerja di sebuah perusahaan tambang internasional.

Mengingat kembali kehidupan mereka di panti asuhan di Lombok, Retno mengatakan merasa bersyukur dengan kehidupan yang dialaminya sekarang.

"Karena panti asuhan tidak memiliki dana lebih untuk membelikan buku pelajaran, kami mendapatkan buku dan alat-alat tulis dari sumbangan gereja atau donatur lain."

Retno mengatakan mereka sekarang membuka sekolah kejuruan, dengan tujuan membantu orang tua setelah tamat sekolah.

"Puji Tuhan saya dan adik selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolah SD dan SMEA 2 Mataram."

"Saya melihat kesusahan dan kesedihan dibelakang adalah cara Tuhan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik, tidak sombong, tapi harus menghargai orang lain tanpa menghakimi," kata Retno.

Simak artikel menarik lainnya dari ABC Indonesia.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada