Danielle merupakan sosok perempuan modern yang terpesona pada "kehangatan jaman dulu". Ia mengaku bahagia bisa menjalankan peran sebagai istri tradisional di negara barat.
Meskipun sebagian orang menganggapnya sebagai kemunduran ke era 1950-an, namun kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan untuk kembali menjadi ibu rumah tangga, tidak melihatnya sebagai pengorbanan.
Bagi mereka, hanya menjadi ibu rumah tangga bukanlah bentuk "ketaklukan" seorang perempuan kepada kaum pria.
"Ibu rumah tangga tradisional di abad ke-21 bukan suatu penindasan, melainkan suatu pembebasan," kata Danielle, ibu dua anak asal Amerika Serikat.
"Perempuan modern yang jadi ibu rumah tangga tradisional adalah gambaran dari otonomi. Mereka tinggal di rumah bersama anak-anak bukan karena dipaksa. Mereka juga tidak dipaksa bekerja di luar rumah. Mereka sendiri yang memilih," ujarnya kepada ABC.
Meskipun pilihan menjadi ibu rumah tangga bukan sesuatu yang baru, namun kini semakin meningkat di negara-negara Barat. Hal itu tampak dari media sosial di Amerika Serikat dan Inggris.
Tapi mudah dipahami jika gerakan ini menimbulkan pro-kontra.
Sebab, memang ada elemen yang secara terbuka mendukung perlunya sikap taat seorang istri kepada suaminya. Mereka menganggap konsep feminisme tak lebih dari upaya "merombak dan menataulang" tatanan alamiah antara pria dan perempuan.
Ada pula yang menyamakannya dengan gerakan nasionalisme kulit putih, yang percaya bahwa perempuan harus fokus hanya pada tugas "alamiah", yakni melahirkan anak dan mengurus rumah tangga.
Makanya, banyak aktivis gerakan rumah tangga tradisional khawatir jika gerakannya disalahartikan.
"Alih-alih memandang hubungan dengan suami sebagai pasangan, mereka memandang suami sebagai raja dan hidup si istri didedikasikan untuk meladeninya," ujar Danielle.
"Ini gambaran tradisionalisme yang keliru, dan memang tampak seperti orang yang dicuci otaknya," katanya.
Gerakan istri tradisional kian marak
Menurut Nadine, yang memiliki tiga anak, menjadi ibu rumah tangga sudah merupakan impiannya sejak dulu. Sebab, statusnya ini telah memberikan "ketenangan" dalam kehidupan keluarganya sehari-hari.
Dia mengakui memang ada perempuan lain yang tidak melihat hubungan suami-istri sebagai kesetaraan.
Meskipun menyebut diri sebagai "istri tradisional", namun mereka menyadari tidak ada model tunggal dari seorang istri tradisional.
Menurut Bec, wanita asal Adelaide yang mengelola grup Facebook untuk para "perempuan tradisional", faktor pemersatunya adalah keyakinan.
"Faktor pemersatunya adalah kepercayaan jika masyarakat dan individu diuntungkan dengan adanya orang yang menjaga unit keluarga, merawat generasi penerus untuk memegang nilai-nilai dan pengenalan kembali keluarga dan agama sebagai fokus kehidupan," paparnya.
Gerakan istri tradisional di Inggris dan Amerika Serikay kian marak di media sosial, tapi masih menjai hal yang baru di Australia.
"Tiga tahun lalu, mungkin saya satu-satunya orang Australia dalam gerakan ini. Tapi kini mulai muncul satu per satu," kata Bec kepada ABC.
"Saya mengenal istri-istri tradisional yang menyebut diri hanya sebagai ibu rumah tangga atau istri-istri Kristiani tapi memiliki semua ciri dari gerakan tradisional ini," ujarnya.
Munculnya gerakan seperti ini tentu saja didorong oleh kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik tertentu.
Meningkatnya biaya perawatan anak, misalnya, menjadikan pilihan tinggal di rumah tidak selalu mudah bagi seorang istri.
Pilihan tinggal di rumah bagi seorang istri, menurut Profesor Mary Lou Rasmussen, merupakan suatu keistimewaan.
"Karena dalam banyak situasi, tidak ada pilihan bagi suami-istri kecuali harus sama-sama bekerja," ujar pakar sosiologi dari Universitas ANU Canberra ini.
Hal ini juga diakui Danielle, yang mengatakan gaya hidup tradisional merupakan kemewahan di abad ke-21 dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Dengan kondisi keuangan yang mendukung, keputusan Danielle menjadi ibu rumah tangga dimaksudkan agar bisa merawat anak-anaknya. Begitu pula suaminya.
"Dia (suami) pulang kerja dan tidak perlu membuatkan makan malam bagi anak-anak, atau memandikan mereka, karena semuanya sudah siap," katanya.
Gerakan pelestarian nilai-nilai keluarga tradisional, menurut Annie Kelly dalam The Housewives of White Supremacy, dilihat sebagai upaya menjaga kelestarian kaum kulit putih di negara-negara Barat.
Fenomena ini mulai ramai di tahun 2017, ketika Ayla Stewart, seorang ibu rumah tangga dan blogger menantang perempuan kulit putih untuk "memiliki anak sebanyak yang saya miliki".
"Tujuan wanita supremasi kulit putih adalah tinggal di rumah, membahagiakan suaminya, dan melahirkan pejuang-pejuang kulit putih sebanyak mungkin," jelas Jessica Reaves dari 'Liga Anti Pencemaran Nama Baik'.
"Semua ini terkait dengan obsesi kaum supremasi kulit putih pada teori penggantian," katanya.
Namun tidak semua aktivis gerakan ini yang sependapat dengan hal itu.
Menurut Nikki, seorang pengelola grup Facebook perempuan tradisional, komunitasnya justru terdiri atas ibu rumah tangga tradisional dari berbagai agama, etnis, usia, dan latar belakang.
"Menuduh kami sebagai NAZI atau kaum supremasi kulit putih itu cukup menggelikan," ujarnya kepada ABC.
Melalui media sosial, istri-istri ini menemukan sesama perempuan yang berpikiran sama, sehingga bisa saling mendukung satu sama lain.
Bagi Danielle, adanya perempuan lain yang menjalani pilihan kehidupan yang sama, membantunya menepis anggapan bahwa pilihannya itu merupakan suatu "aib".
"Komunitas ibu rumah tangga merupakan respons dari perempuan rasional yang secara sadar menyatakan, saya ingin menikah, ingin mengasuh keluarga, ingin membangun rumah tangga untuk saya dan orang yang saya cintai," ujarnya.
"Pemberdayaan muncul dari kesadaran bahwa ada juga perempuan lain yang menginginkan hal yang sama. Kami bukan aib bagi kaum perempuan, jika kami menolak hidup sendirian sepanjang hidup kami," katanya.
Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.