Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

"Status Visa Saya Tidak Pernah Ditanya": Kesaksian WNI Bekerja Ilegal di Perkebunan Australia

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Kasus penggeledahan pekerja ilegal di perkebunan asparagus dan brokoli terbesar Australia mulai diperiksa pengadilan pekan ini. Dua saksi warga Indonesia memberikan keterangan, salah satunya mengaku mengajukan visa perlindungan dengan dalih menderita kanker.

Penggeledahan itu sendiri berlangsung pada akhir 2016 di perkebunan Koo Wee Rup, sekitar 75 km di luar Kota Melbourne.

Baca Juga:

Perkebunan ini dijalankan oleh M&G Vizzari milik Giuseppe Vizzari, petani asparagus dan brokoli terbesar di Australia yang juga ketua Dewan Asparagus Australia.

Dalam penggeledahan itu petugas menemukan sekitar 90 orang asing yang bekerja secara ilegal di dalam gudang pengemasan.

A man with grey hair wearing a suit walks down steps outside court with his hands in his pockets with others surrounding him.
Petani asparagus terbesar di Australia, Giuseppe Vizzarri, dituduh menggunakan pekerja ilegal di salah satu perkebunannya.

ABC News: Karen Percy

Baca Juga:

Perinciannya, 36 orang Indonesia dan 22 orang Malaysia tak memiliki hak untuk bekerja di Australia, serta 28 orang lainnya yang melanggar persyaratan visa mereka.

Giuseppe Vizzarri dan perusahaannya kini menghadapi 107 dakwaan, termasuk "mengetahui atau membiarkan" pekerja yang sebenarnya tidak boleh bekerja berdasarkan Undang-Undang Imigrasi.

Pria lain bernama Sarith Kit dituduh dengan 109 dakwaan, sama dengan dakwaan terhadap Giuseppe ditambah dua tuduhan pencucian uang.

Menurut berkas perkara dalam sidang di Pengadilan Magistrasi Melbourne, Rabu (26/2/2020), para pekerja di perkebunan ini selain dari Indonesia dan Malaysia, juga dari Kamboja dan Thailand.

Mereka bekerja mengemas asparagus dan brokoli yang dipanen dari lahan perkebunan tersebut.

"Segala macam kejahatan digunakan untuk menggambarkan pengaturan pekerjaan di sana," kata Jaksa Gavin Silbert QC dalam persidangan.

Para pekerja ini mendapatkan informasi pekerjaan di sana dari mulut ke mulut.

"Ada yang ditugaskan sebagai supir yang mengangkut pekerja ke perkebunan dan mengabsen mereka," jelas Jaksa Silbert.

A man with black hair wearing a dark blue jacket and light coloured pants walks down the steps outside court.
Sarith Kit dituduh menjalankan perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja ilegal ke perkebunan di Australia.

ABC News: Karen Percy

Ada pula yang bertugas sebagai perekrut tenaga kerja.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa pihak M&G Vizzarri membayarkan uang kontan dalam jumlah jutaan dolar ke perusahaan-perusahaan yang dikelola Sarith Kit. Perusahaan itu adalah VNT Golden Pty Ltd dan STN8 Pty Ltd.

Uang ini kemudian ditarik secara tunai untuk digunakan membayar gaji para pekerja Vizzarri.

"Mereka dibayar jauh di bawah tingkat upah dengan dalih sebagai pengaturan sah dari perusahaan penyalur tenaga ," jelas Jaks Silbert.

Sarith Kit juga menghadapi tuduhan pencucian uang setelah petugas menemukan uang tunai 455.490 dolar AUS dan 15.200 dolar AS di rumahnya.

Menurut pengacara Vizzarri, Justin Hannebery QC, kliennya didakwa melakukan pelanggaran UU Imigrasi, bukan mengeksploitasi pekerja atau membayar upah di bawah UMR.

Kesaksian Tito dan Agus

Seorang pekerja asal Indonesia, Tito Hardian Sukamto, telah memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus ini.

Keterangannya yang diperoleh petugas saat terjadi penggerebekan pada Desember 2016 itu diajukan dalam persidangan dan didengar oleh ABC News.

Dalam keterangannya, Tito mengaku mulai bekerja di pertanian Vizzarri sejak September 2015.

Dia bertugas sebagai supir yang memastikan pekerja-pekerja lainnya tiba di lokasi perkebunan serta membuat catatan kehadiran mereka.

Tito juga membantu merekrut orang untuk bekerja di perkebunan tersebut, namun menurut pengakuannya, dia berhenti karena merasa terlalu stres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat dilakukan pemeriksaan silang, Tito mengaku sudah memiliki maksud untuk tinggal di Australia saat dia tiba pada Januari 2018 dengan visa liburan yang hanya berlaku 10 hari.

"Ada yang memberitahu bahwa saya bisa menghubungi orang yang dapat mengubah visa turis menjadi visa pelajar," ujar Tito melalui penerjemah.

Namun, menurut Tito, akhirnya dia mengajukan visa perlindungan (protection visa) dengan alasan menderita kanker.

Dalih yang dia sampaikan kepada pejabat imigrasi, katanya, dia ingin tinggal di Australia untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih baik.

Tito juga menjelaskan kepada polisi bahwa seorang pria Kamboja bernama Lee bertugas untuk mencari pekerja bagi perkebunan Vizzarri.

"Lee ada di perkebunan sepanjang hari, setiap hari saat kami kerja. Dia menangani sekitar 100 pekerja. Dia sendiri tidak bekerja, hanya mengawasi," ujar Tito.

Menurut Tito, ia bekerja selama 50 hingga 60 jam seminggu, dan mendapatkan bayaran hingga 18 dolar per jam.

"Tidak pernah ada orang di perkebunan yang menanyakan tentang status visa saya," demikian keterangan Tito Hardian Sumanto.

Saksi lain yang juga berasal dari Indonesia, Agus Yusta Pradnyana, mengaku bekerja di sejumlah perkebunan, termasuk di Vizzarri.

Dalam persidangan terungkap bahwa Agus ke Australia bersama ibunya dari Bali pada tahun 2012 dengan menggunakan visa liburan.

Tujuannya adalah bekerja untuk melunasi utang ayahnya di Indonesia.

Australian Border Force officers conduct a raid on a Victorian farm.
Petugas Australian Border Force menggeledah perkebunan asparagus di Gippsland pada Desember 2016 dan menemukan 61 pekerja ilegal, 36 di antaranya dari Indonesia.

Istimewa: Australian Border Force

Agus langsung mengajukan permohonan visa perlindungan pada hari dia tiba di Sydney.

Tiga tahun kemudian, dia mulai bekerja di perkebunan Vizzarri, tepatnya pada September 2015. Dia juga bertugas sebagai supir.

Diperoleh keterangan bahwa para pekerja di sana dibayar setiap hari Jumat.

Uang tunai dimasukkan ke dalam amplop berserta total jam kerja dan nilai gaji tertulis serta nomor yang mengidentifikasi pekerjanya.

Agus Pradnyana, katanya, diidentifikasi dengan nomor 602.

Dia mengaku mendapatkan bayaran 15 dolar bila kerja di pengepakan dan 18 dolar ketika bertugas jadi supir.

Pada saat penggerebekan terjadi, Agus kebetulan tidak bekerja di sana.

Kedua saksi asal Indonesia ini mengakui sebenarnya sudah tahu bahwa mereka tidak bisa bekerja di Australia menggunakan visa kunjungan.

Namun sama seperti keterangan Tito, Agus Pradnyana juga mengaku tidak pernah ada orang yang menanyakan tentang visanya ketika dia bekerja di perkebunan Vizzarri.

Pemeriksaan kasus yang dipimpin Hakim Peter Reardon ini masih berlanjut, untuk menentukan apakah akan diteruskan ke pengadilan pidana atau tidak.

Simak berita-berita menarik lainnya dari ABC Indonesia.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada