Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Empat Seniman Indonesia di Australia Lawan Rasisme dalam Proyek 'I AM NOT A VIRUS'

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Karya seni Jayanto Tan berjudul "No Friend’s But The Ghost (Ceng Beng)". (Photo: I AM NOT A VIRUS)

Jayanto Tan sedang berada dalam kereta menuju tempat kerja ketika seseorang yang disebutnya berasal dari "kelompok mayoritas" menghampirinya.

"Dia negor saya, saya mestinya di rumah, gak boleh keluar. Atau pulang ke Wuhan," kata seniman asal Indonesia di Sydney, Australia itu.

Baca Juga:

"Saya kaget, 'kok ke Wuhan? Saya kan bukan orang Chinese? Saya orang Indonesia,' dalam hati."

Pengalaman tersebut membuatnya merefleksikan kembali identitas dirinya dan mendorongnya untuk membuat sebuah karya seni.

Ketika sedang memantau proyek kesenian selanjutnya di internet, ia menemukan sebuah proyek bertajuk "I AM NOT A VIRUS' yang berarti "Saya Bukan Virus".

Baca Juga:

Proyek tersebut menampilkan karya dari 68 seniman sebagai reaksi terhadap tindakan rasisme yang terjadi di masa pandemi COVID-19.

Di dalamnya, terdapat lima orang seniman berdarah Indonesia yang ikut bersuara.

Teringat pengalamannya di kereta, Jayanto pun mengajukan ide karya seninya.

Seminggu kemudian, Jayanto menerima lampu hijau untuk mengeksekusi proyeknya.

Karya seni ini dinamakannya "No Friend's But The Ghost (Ceng Beng)", hasil refleksi identitas diri Jayanto sebagai seorang warga keturunan Tionghua dan Batak-Melayu.

Terbuat dari keramik, menurutnya produk ini lebih beriorientasi pada proses dibanding hasil akhir.

"Proses dari keramik mengingatkan [saya pada] masa lalu, ketika ibu membawa persembahan untuk Babe," kenang Jayanto akan ayahnya yang meninggal ketika usianya baru lima tahun.

Menurutnya, proses pembentukan keramik dalam karya seni ini melambangkan perlakuan terhadap kelompok minoritas, baik di Indonesia ataupun Australia.

"[Keramik] dari yang lembut, dibakar, dikeringkan, dibakar, dan dikasih warna," katanya.

"Minoritas selalu ditekan, dipermasalahkan sama mayoritas. Ke mana saja kamu pergi, pasti ditekan."

Jayanto berusaha membahas masalah dan menyampaikan pesan secara halus, yakni melalui sentuhan warna pada makanan yang dipersembahkan dalam ziarah makam orang terkasih (Ceng Beng).

"Tradisi Hokkien, Indonesia, Australia, dikeluarkan. Warna [melambangkan] mixed culture [kebudayaan beragam] dan ras. Tidak ada diskriminasi," katanya.

"Ceng Beng" juga berisi doa Jayanto bagi negara tempat tinggalnya selama 23 tahun ini.

"Sebagai orang ras campur, kelompok minoritas seharusnya diberi perhatian, jangan hanya di stereotype [diberi label]," tuturnya.

'My Country Is My Pain'

Walau tidak mengalami langsung, Elina Simbolon melihat tindakan rasisme terhadap warga Asia-Australia sebagai hal yang "sangat gelap dan menyakitkan".

Reaksi akan peristiwa tersebut diwujudkannya dalam bentuk pakaian yang terbuat dari masker berwarna hitam, bertuliskan "My Country Is My Pain" atau negaraku adalah penderitaanku.

Kalimat lain yang juga ia tuliskan adalah "You Don't Belong Here" yang berarti "Kamu Tidak Layak Tinggal di Sini".

Kedua kalimat ini dituliskannya dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Kanton.

"Ini gabungan dari sculpture, fotografi, dan teks 'You Don't Belong Here', istilahnya orang mengecap kita," kata Elina, seniman asal Indonesia di Melbourne, Australia.

Foto Elina mengenakan karya seninya yang didominasi warna gelap ini diharapkan dapat menarik perhatian orang yang melihat karyanya, khususnya dari kelompok mayoritas.

Terlihat juga rantai yang terbuat dari pipa dan duri dari pengikat kabel menempel pada pakaian tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua benda yang terbuat dari materi yang mudah ditemukan sehari-hari ini memperkental makna "kekerasan" yang berusaha digaungkan karya ini.

"Saya sengaja pakai warna hitam di fotonya, digelapkan, karena saya ingin orang melihat dan berpikir, 'Ada apa sih?'," katanya.

"Jadi ini salah satu strategi untuk membuka dialog dengan orang, supaya mereka datang, melihat dan mencerna."

Karya yang dibuat selama enam minggu ini juga merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah setempat.

"Lokasi diambilnya foto itu, kelihatan pilar-pilar, yang melambangkan power [kekuasaan]," kata Elina.

"Istilahnya, saya sedikit memprotes juga, mengapa tindakan rasisme ini bisa terjadi? Karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kita yang di sini," tambahnya.

"Tidak adil juga kan? Kita sama-sama hidup, kalau kena virus juga sama-sama kena, tapi mengapa harus dijadikan bulan-bulanan?"

'Melawan kebencian' lewat tatapan

Tindakan rasisme dialami juga oleh seniman berdarah Indonesia yang tumbuh di Australia, Audrey Alim yang dikenal sebagai AUNA melalui karyanya, "Look At Me" atau "Tataplah Saya".

"Pernah satu kali, di awal pandemi, saya mengenakan masker di kereta dan sadar kalau penampilan saya menarik perhatian banyak orang," katanya.

"Mereka ketakutan akan hal yang tidak mereka ketahui dan mengaitkan hal-hal negatif antara warga Asia-Australia dengan COVID-19."

Dalam karya seninya, Audrey menggambarkan keberaniannya untuk menatap kembali sekian pasang mata yang menghakiminya.

"Saya ingin mengilustrasikan pengalaman ini, kemampuan melawan kebencian terhadap ras tertentu."

Walau lahir dan besar di SydneyAudrey yang berasal dari keluarga Tionghua-Indonesia mengaku karyanya seringkali masih dipengaruhi kesenian Indonesia.

"Sejak kecil, saya kagum melihat kerumitan gurat garis pada batik, juga pola sederhana dan rumitnya yang berisi kisah," katanya.

"Kebanyakan karya saya dipengaruhi praktik ini, seperti misalnya garis warna emas di waratah [bunga] pada karya ini."

Ajakan untuk melawan ketakutan

Seniman berdarah Indonesia di Australia yang ikut bersuara adalah Wina Jie, melalui karyanya berjudul "I Am Free" atau "Saya Bebas".

Ilustrasi yang berbentuk komik tersebut menurutnya merupakan "reaksi" terhadap perilaku yang dialami warga Asia di Australia.

"Ini menggambarkan kondisi psikis dalam diri, di mana [perempuan tersebut seolah] ingin melawan ketakutannya," kata Wina.

Secara tidak sadar, seniman mural ini juga memberikan sentuhan negara asalnya dalam karya tersebut.

"Kalau diamati, ada dua orang mengenakan hijab dalam karya ini. Ketika menggambarnya saya tidak sadar," katanya.

"Dan juga ada beberapa orang berwajah Asia."

Menurutnya, proses kreatif ini dipicu alam bawah sadar Wina yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, Indonesia, sebelum pindah ke Sydney di tahun 1986.

Sebagai seorang migran yang sempat kesulitan menyesuaikan diri di Australia, ia berharap agar karyanya menjadi pengingat bagi orang yang mengalami hal serupa dengannya.

"Pesannya adalah untuk bisa beradaptasi ... dan bangga akan tempat asalmu, karena itulah yang membuat kita unik," katanya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada