Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Ribuan Pekerja Terampil Tetap Tidak Bisa ke Australia Meski Sudah Memiliki Visa

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Hansanul Bunna Khan menghabiskan sekitar $25.000 (lebih dari Rp250 juta) untuk mempersiapkan perpindahan keluarganya ke Australia, namun masih belum bisa meninggalkan Bangladesh. ()

Hansanul Bunna Khan tak bisa melupakan momen berharga ketika impian kehidupan baru di Australia tiba-tiba terbentang di hadapannya.

"Momentum emas itu adalah ketika saya menerima email itu," ujar ayah satu anak asal Bangladesh, dengan suaranya yang sedikit bergetar.

Baca Juga:

"Semua kemungkinan [terbentang luas]," kata Hansanul kepada ABC.

Setelah bertahun-tahun berupaya pindah ke Australia, Hansanul yang bekerja sebagai administrator proyek di Dhaka, akhirnya berhasil mendapatkan visa pekerja terampil regional.

Ini adalah salah satu jenis Visa Australia yang cukup populer bagi kalangan profesional yang ingin migrasi ke Australia.

Baca Juga:

Syaratnya terbilang cukup sederhana.

Jika Hansanul menghabiskan minimal dua tahun di bagian tertentu dari wilayah regional Australia, dia akan berhak mengajukan permohonan menjadi penduduk tetap.

Tetapi harapan dan impian keluarga ini, seperti banyak tenaga profesional lain di seluruh dunia, telah dihancurkan oleh pandemi COVID-19.

Kini hanya mengandalkan tabungan

Setelah sempat menjalani tugas singkat di Australia, Hansanul kembali ke Bangladesh bersama keluarganya pada tahun 2019 untuk membantu orang tuanya yang sakit. Ia juga membantu adik perempuannya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian yang menyakitkan.

Kemudian dunia berubah akibat pandemi.

Pada 18 Maret 2020, hanya dua minggu sebelum Hansanul dijadwalkan naik pesawat kembali ke Australia, perbatasan telah ditutup karena pandemi.

Hampir satu setengah tahun kemudian dia masih terjebak di Dhaka bersama keluarganya. Mereka kini hanya mengandalkan tabungan.

Hansanul telah 18 kali mengajukan pengecualian perjalanan untuk kembali ke Australia. Tapi selalu ditolak.

Hal ini sangat berdampak pada dirinya dan keluarganya.

Saat waktu berlalu tanpa adanya tanda-tanda pembukaan perbatasan, pukulan yang keras perlahan mulai dialaminya.

"Tahun lalu sekitar bulan Agustus, saya sangat stres sehingga saya harus ke dokter untuk mendapatkan konseling," kata Hansanul.

"Saya masih menggunakan obat anti-stres, untuk menjaga kestabilan diri. Saya harus kuat di depan orangtua, istri, dan anak saya," katanya.

Dia mengaku lebih mengkhawatirkan putranya, Nayel, serta istrinya, Tashfia.

"Hidup kami tidak bergerak, tapi tertahan. Anak saya yang berusia lima tahun seharusnya bersekolah sekarang di Australia. Dia kesulitan di rumah. Ini bukan kehidupan anak-anak. Dia ingin punya teman di Australia," ujar Hansanul.

"Setiap kali dia bertanya, Baba, kapan kita ke Australia? Saya hanya bisa memberinya janji," katanya.

"Saya tidak ingin menghancurkan harapannya. Saya juga ingin menjaga harapan saya sendiri," kata Hansanul.

Rumah sudah dijual, tiket pesawat sudah dibeli

Data Pemerintah Australia pada bulan Maret menunjukkan hampir 8.500 pemegang visa pekerja terampil regional masih tertahan di negara lain dan tak bisa masuk ke negara ini.

Sorotan publik sangat besar pada mahasiswa internasional, para pengungsi, serta warga negara dan penduduk tetap Australia yang kesulitan pulang. Namun, kelompok pekerja terampil ini merasa diabaikan.

"Kami terjebak dalam ketidakpastian," kata Yarik Turianskyi kepada ABC.

Warga negara Ukraina itu tinggal di Afrika Selatan bersama istrinya, Judy, dan putranya yang masih kecil, Christopher.

Istrinya memiliki keluarga di Australia, dan Turianskyi mengatakan mereka telah memutuskan bermigrasi ke negara ini.

Menjelang akhir 2019, dia berhasil mendapatkan visa pekerja terampil regional, dan merencanakan pindah ke Adelaide bersama keluarganya.

Yarik mengaku telah menjual rumah mereka, memesan tiket pesawat, dan menyiapkan mental untuk memulai hidup di negara lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian pandemi COVID-19 melanda.

Dia sedang mengurus biaya pengiriman barang ketika mendengar berita bahwa Australia telah menutup perbatasannya.

Sejak itu mereka terjebak. Penantian berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan sekarang hampir satu setengah tahun.

Keluarga itu harus pindah dari rumah mereka pada Juli tahun lalu dan sejak itu hidup berpindah-pindah.

"Kami mengalami banyak kecemasan," ujar Yarik.

"Saya harus setiap saat mencari berita Australia sepanjang tahun ini, mengikuti sumber-sumber berita atau petunjuk apa pun dari pemerintah tentang kapan perbatasan akan dibuka," jelasnya.

Hal yang membuat penantian mereka ini terasa begitu menyiksa yaitu kurangnya informasi dari Pemerintah Australia.

Visa yang dipegang Yarik hanya berlaku empat tahun, dengan syarat harus menghabiskan dua tahun di wilayah regional, yaitu di Australia Selatan.

"Masalahnya, visa yang kami miliki terikat batas waktu. Jika kami kita tidak menyelesaikannya sebelum Oktober tahun ini, waktunya akan habis," ujarnya.

Yarik memahami, mustahil bagi bagi siapa pun di Australia untuk mengkomunikasikan kepastian pembukaan perbatasan.

Namun, dia mendesak pemerintah memberikan jaminan perpanjangan visa, atau mengizinkannya untuk langsung memohon menjadi penduduk tetap.

Yarik mengaku telah menghubungi pihak Departemen Dalam Negeri namun tidak mendapatkan jawaban mengenai kepastian kapan keluarga ini bisa masuk kembali ke Australia.

Langsung ajukan PR

Dalam sebuah pernyataan, Departemen Dalam Negeri mengatakan telah membuat konsesi untuk sejumlah pemegang visa pekerja terampil, yang memungkinkan mereka langsung mengajukan permohonan menjadi penduduk tetap (PR) dari luar negeri dan memotong masa tingal dan bekerja di wilayah regional Australia.

Namun menurut Yarik, konsesi itu hanya ditawarkan kepada pemegang visa yang telah masuk pertama kali ke Australia.

Selain itu, dia mengaku telah menghabiskan sekitar A$14.000 (sekitar Rp140 juta) untuk visa, tes wajib dan biaya agen migrasi untuk membuka jalan ke Australia.

Sementara Hansanul Khan menyebutkan dia telah menghabiskan hampir A$25.000 (sekitar Rp250 juta) untuk visa, tiket pesawat, biaya administrasi, dan biaya agen imigrasi.

Satu-satunya cara dia bisa mengumpulkan uang adalah dengan menjual beberapa perhiasan istrinya.

"Saya masih ingat saat pergi ke toko menjual perhiasan. Saya berjanji kepada istri, akan mengembalikan perhiasannya," katanya.

"Dia tidak pernah memintanya kembali, tapi saya sudah berjanji," ujar Hansanul.

Namun keinginan utama kedua keluarga ini hanyalah adanya informasi dan kejelasan.

Mereka menginginkan jaminan migrasi mereka tetap terbuka, meski harus menunggu lama.

Yarik yang tekun mempelajari masyarakat dan politik Australia mengaku ingin cepat berintegrasi jika nantinya bisa masuk ke negara ini.

"Bagi saya tema yang menonjol adalah keadilan untuk semua. Hal itulah yang akan saya minta," katanya.

Sedangkan Hansanul mengaku jika Australia membuka tangan kepada keluarganya, mereka akan membalas pelukan itu.

"Kami akan bekerja keras. Kami akan membuktikan bahwa kami ini adalah bagian dari Anda," ujarnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada