Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Antibodi dari Vaksin Sinovac Turun dalam Tiga Bulan Menurut Studi Terbaru. Seberapa Efektif Sinovac Melawan Varian Delta?

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Ibu Dr Radian Ahmad Halimi yaitu Dr Ike Sri Redjeki meninggal baru-baru ini karena COVID-19. (ABC News)

Indonesia sangat menggantungkan program vaksinasi dengan Sinovac dari China namun jumlah kematian terus meningkat.

Dari jumlah korban yang sejauh ini mendekati angka 100 ribu orang, 600 diantaranya adalah dokter.

Baca Juga:

Salah satunya adalah dokter pembuat 'ventilator portable' yang sudah menyelamatkan banyak lainnya selama pandemi.

Dokter Ike Sri Redjeki (71 tahun) adalah salah satu penggagas ventilator portable yang disebut Vent-I, alat yang bisa digunakan membantu pasien yang mengalami sesak napas namun masih sadar dan bisa bernapas sendiri.

Vent-I dianggap sangat berguna karena tidak mahal dan bisa dioperasikan dengan mudah.

Baca Juga:

Ratusan 'ventilator portable' ini sudah digunakan di berbagai rumah sakit di Pulau Jawa termasuk di Rumah Sakit Hassan Sadikin (RSHS) di Bandung, tempat bekerja mendiang Dr Ike.

Dokter Ike meninggal setelah dirawat di RSHS di bulan Juni lalu karena COVID. Saat itu angka penularan sedang meningkat tajam di berbagai daerah di Indonesia.

"Sebelum perawat memasang ventilator ibu saya berkata 'kondisi saya buruk, ibu bisa meninggal. Jaga dirimu baik-baik, juga adik kakak dan keluarga lain," kata Radian Ahmad Halimi, yang juga seorang dokter dan anak paling bungsu Dr Ike.

Dokter Ike dinyatakan positif setelah dua asisten rumah tangga keluarganya kembali ke Bandung setelah mudik dari desa mereka untuk merayakan lebaran, bulan Mei lalu.

Dokter Ike meninggal dua minggu setelah terkena COVID.

"Kejadiannya begitu cepat," kata dr Radian.

"Ibu saya awalnya tidak memiliki gejala, sehingga kami semua menjalani isolasi mandiri di lantai dua. Kemudian ibu mulai menunjukkan gejala batuk-batuk."

"Kami tidak mau mengambil resiko, kami langsung membawanya ke rumah sakit."

"Dia tidak saja menjadi ibu bagi saya, juga sekaligus guru," katanya yang juga dokter anestesi seperti mendiang ibunya.

"Saya langsung belajar dari Ibu. Dia juga jadi teman diskusi. Dia juga rekan di rumah sakit, karena kami berdua bekerja di rumah sakit Melinda."

"Kami akan membicarakan apa saja mulai dari agama sampai ke politik. Saya betul-betul kehilangan."

Tingkat efektivitas vaksin Sinovac jadi perhatian

Dari angka kematian hampir 100 ribu orang di Indonesia, 40 persen diantara korban yang meninggal baru terjadi sejak 1 Juli.

Angka kasus kini mulai menunjukkan penurunan, setelah mencapai titik puncak 56.757 kasus pada tanggal 15 Juli dan angka kematian tertinggi harian yaitu 2.069 orang pada tanggal 27 Juli.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Lapor COVID-19, selain 600 dokter yang meninggal, tenaga layanan kesehatan lain juga menjadi korban yaitu 500 perawat, 300 bidan, dan ratusan dokter gigi, apoteker dan yang lainnya.

Hampir semua mereka sebelumnya sudah divaksinasi menggunakan vaksin Sinovac asal China.

"Ibu mendapat vaksin pertama di bulan Februari, dan dosis kedua di bulan Maret. Jadi dia sudah mendapat vaksinasi penuh. Sama seperti saya juga, ibu waktu itu mendapat vaksin Sinovaca," kata dr Radian.

Di saat Indonesia tengah menghadapi varian Delta, ada kekhawatiran mengapa banyak yang meninggal padahal mereka sudah mendapat vaksinasi penuh.

"Sinovac efektif untuk varian sebelumnya. Sekarang kita menghadapi varian Delta dan tentu saja ceritanya jadi berbeda," kata Dr Dicky Budiman epidemiolog Indonesia yang sedang melanjutkan pendidikan di Queensland, yang juga  penasehat bagi Pemerintah Indonesia soal pandemi.

"Varian Delta sudah menyebar ke seluruh provinsi dan pulau-pulau di Indonesia khususnya yang besar."

"Tingkat kematian sangat tinggi. Kita tahu bahwa faktor ini menunjukkan betapa seriusnya pandemi ini."

Sama seperti beberapa negara lain, Indonesia mengandalkan vaksin Sinovac untuk melakukan vaksinasi bagi jumlah penduduk yang besar.

Dari 173 juta vaksin yang sudah diterima Indonesia, porsi vaksin Sinovac adalah 80 persen.

Pemerintah Indonesia mengatakan vaksin Sinovac sudah membantu mengurangi kematian dan tingkat keparahan mereka yang sakit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah Indonesia memberi contoh 360 pekerja kesehatan di Kudus Jawa Tengah yang terkena COVID di bulan Juni sekarang hampir semuanya sudah sembuh.

Tetapi studi terbaru menyebutkan antibodi di dalam darah yang diciptakan oleh vaksin Sinovac, dengan cepat menurun kadang hanya bertahan sampai tiga bulan walau sudah mendapat dosis kedua.

Professor Ben Cowling dari University of Hong Kong yang melakukan penelitian dengan publikasi mereka diterbitkan di Jurnal Lancet bulan lalu.

Ia membandingkan tingkat efektivitas Sinovac dengan Pfizer di kalangan pekerja kesehatan di Hong Kong, di mana Sinovac diberikan kepada 40 persen.

"Kami melihat tingkat antibodi bagi mereka yang mendapat vaksin Pfizer atau vaksin Sinovac dan ada perbedaan besar," kata Profesor Cowling.

"Mereka yang mendapat vaksin Pfizer memiliki antibodi 10 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang mendapat vaksin Sinovac."

Tak hanya berkaitan dengan antibodi saja, muncul juga pertanyaan mengenai tingkat efektivitas vaksin itu untuk jangka panjang.

"Saya baru saja melihat penelitian dari Thailand, di mana mereka melihat warga yang mendapatkan vaksin Sinovac dan ditemukan setelah tiga bulan antibodi sudah tidak terdeteksi lagi di dalam tubuh," kata Professor Cowling.

"Sekarang memang tidak bisa dikatakan jika tidak ada lagi perlindungan setelah tiga bulan. Namun adalah hal yang tidak ideal bila antibodi menghilang dari darah kita."

"Untuk vaksin Pfizer, antibodi akan bertahan lebih lama, karena tingkatnya tinggi setelah vaksin dilakukan.

"Jadi ada kekhawatiran apakah perlindungan hanya akan berlangsung sebentar dari dosis pertama dan kedua Sinovac." 

Penelitian terpisah yang dilakukan China juga menunjukkan bahwa antibodi yang  disebabkan oleh vaksin Sinovac menurun drastis di sekitar enam bulan setelah dosis kedua tapi dosis ketiga memberikan penguat yang signifikan.

Diantara mereka yang mendapatkan dua dosis, dengan jarak 4 minggu, hanya 35 persen  memiliki antibodi melawan COVID-19 enam bulan setelah dosis pertama.

Untuk saat ini Indonesia tidak memiliki banyak pilihan.

Namun pakar seperti Professor Cowling memperingatkan perlunya menggunakan vaksin yang benar-benar efektif.

"Bila kita menggunakan vaksin yang tidak efektif seperti Sinovac, maka kita tidak akan mencapai kekebalan massal," katanya.

"Kita tahu bahwa kita memerlukan 70-80 persen penduduk sudah divaksinasi untuk mencapai kekebalan massal.

"Dengan vaksin yang hanya mencapai tingkat efektif 50-60 persen, bahkan walaupun semua orang mendapatkanya, kita tidak akan mencapai tingkat kekebalan massal."

Indonesia bulan lalu mulai memberikan suntikan dosis ketiga menggunakan vaksin Moderna kepada petugas kesehatan dan mengumumkan sekarang akan memberikan dosis penguat bagi warga lainnya.

Siti Nadia Tarmizi, juru bicara Departemen Kesehatan mengatakan data klinis menunjukkan bahkan dengan tingkat antibodi yang lebih rendah sudah bisa memberikan perlindungan terhadap virus corona.

Bulan lalu Australia menjanjikan akan mengirim 2,5 juta dosis AstraZeneca ke Indonesia.

Di rumahnya di Bandung, dr Radian mengatakan prioritas yang harus dilakukan Indonesia saat ini adalah melakukan vaksinasi secepat mungkin kepada seluruh penduduk dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat sampai pandemi ini berhasil ditangani.

Tetapi dia berharap keadaan paling buruk di Indonesia akan segera berlalu dalam waktu dekat.

"Saya merasa optimis jika kita akan keluar dari pandemi ini, saya yakin sekali," katanya.

"Saya tidak tahu kapan. Kami mungkin tidak akan bisa melakukannya secepat negara-negara lain, yang warganya memiliki tingkat kepatuhan tinggi. Namun kami akan bisa keluar dari masalah ini."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada