Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Gugat ke Mahkamah Konstitusi, Para Ibu Ini Hanya Ingin Hak Anak-anaknya Terpenuhi Melalui Ganja Medis

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Nafiah, ibu dari Keynan yang mengidap cerebral palsy (lumpuh otak) ingin mencoba semua kemungkinan pengobatan untuk anaknya. (Supplied.)

Nafiah Murhayanti ingat betul, saat melahirkan Keynan sebelas tahun yang lalu. Bayinya tidak spontan menangis seperti kebanyakan bayi baru lahir lainnya.

Keynan lahir prematur, satu bulan lebih awal dari hitungan normal kelahiran, dengan berat badan rendah.

Baca Juga:

“Tapi ia lahir sehat, semua organ tubuhnya lengkap dan utuh,” tutur Novi, panggilan akrab Nafiah kepada ABC Indonesia.

Setelah dua minggu dirawat, berat badan Keynan sudah bertambah dan diperbolehkan pulang ke rumah.

Tapi setibanya di rumah, Novi mengatakan Keynan sangat sering menangis, meski awalnya ia merasa kemungkinan besar karena kepanasan sehingga memerlukan penyejuk ruangan.

Baca Juga:

“Dari 24 jam, mungkin totalnya hanya tiga atau empat jam dia tidak menangis,” kata Novi yang kemudian merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan anaknya.

Kekhawatiran Novi terjawab saat membawa Keynan ke dokter setelah berusia empat puluh hari. 

Keynan mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak.

“Semuanya dites, hasilnya memang otaknya sudah banyak mengalami kerusakan karena kejang yang tidak tertangani.”

Sejak saat itu, kondisi kejang Keynan menjadi keseharian Novi, bahkan seringkali kejangnya berlangsung cukup lama.

“Pernah dari rumah, ke rumah sakit pertama, sampai rumah sakit kedua, itu Keynan kejang enggak berhenti, … akhirnya setelah disuntik baru reda,” tutur Novi.

Novi yang tinggal di Yogyakarta kemudian bertemu dengan Dwi Pertiwi di Wahana Keluarga Cerebral Palsy, sebuah komunitas orangtua yang memiliki anak cerebral palsy.   

Putra semata wayang Dwi, Musa, juga mengidap cerebral palsy.

“Kalau sudah mengalami punya anak, atau cucu, atau anggota keluarga yang seperti Musa atau seperti Keynan, pasti tahu bagaimana deg-degannya hati kami setiap hari,” kata Dwi.

“Karena setiap kali kita mengusahakan terapi apa pun dan ada progres, begitu mengalami kejang, [kondisi] itu reset kembali ke nol, dan itu over and over and over again [terjadi berulang kali]," ujarnya.

"Bayangkan kalau kita sudah senang lihat mereka bisa sedikit-sekit jalan sambil pegangan apa, tiba-tiba kejang, ya sudah kembali seperti bayi lagi,” ujarnya.

Hingga di satu titik, Dwi maupun Novi merasa obat kejang yang diberikan dokter “tidak lagi punya efek.”

Sempat membaik saat mencoba terapi ganja di Australia

Sepanjang hidupnya merawat Musa, menurut Dwi mengatakan satu-satunya momentum Musa mengalami banyak kemajuan adalah saat mereka mengunjungi Australia di tahun 2016.

Awalnya Dwi pergi ke Australia hanya untuk keperluan pembelian alat medis. Tapi kebetulan ada salah seorang rekannya di negara bagian Victoria, dengan ibu kota Melbourne, yang sedang menjalani terapi ganja karena masalah pada sendi dan hati.

“Akhirnya aku minta, di kamar Musa aku kasih kayak incense (dupa) gitu, diasap saja kamarnya sebelum dia tidur, dan itu ternyata sangat berpengaruh.”

“[Saya lihat] tidurnya lebih enak, kemudian setelah seminggu pakai itu, aku noticed ketika kami ke tempat beli kursi roda, saat badannya sedang diukur aku lihat muscle tone-nya jadi soft dan ketika diterapi resistensinya berkurang banget,” cerita Dwi.

Tak hanya itu Dwi juga mengatakan kejang yang dialami Musa tidak lagi terjadi. 

“Selama November 2016 sampai kami pulang dia enggak pernah kejang, [padahal] biasanya Musa kejang dua - tiga kali seminggu,” tambahnya.

Pengalaman terapi ganja inilah menjadi alasan mengapa Dwi, dan juga Nafiah, kemudian mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka menilai terapi pengobatan dengan ganja ini adalah satu-satunya cara untuk memperjuangkan kesembuhan anak-anak mereka.

Tapi kemudian ada insiden yang menerpa Fidelis Arie Sudarwoto di tahun 2017.

Fidelis harus menjalani hukuman 8 bulan penjara karena meramu tanaman ganja untuk terapi istrinya yang mengidap penyakit langka 'syringomyelia'atau gangguan syaraf tulang belakang, dan tak bisa ditangani rumah sakit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Aku di sini mewakili teman-teman Musa, karena aku sudah melihat bagaimana Musa bisa membaik, dan hak dia untuk membaik, hak dia untuk hidup, dan hak dia untuk hidup lebih baik kan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar," jelas Dwi.

"Tapi Undang-Undang Narkotika ini menghalanginya,” tambahnya.

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi

Mereka menggugat Pasal 8 ayat (1) dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika yang melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan.

Padahal menurut mereka, beberapa jenis narkotika golongan I yang tercantum di Peraturan Menteri Kesehatan terbukti bermanfaat untuk kesehatan, misalnya ganja dan tanaman 'Papaver Somniferum L'.

Persidangan baru saja dimulai pada November 2020 lalu, saat Dwi harus kehilangan Musa yang saat itu berusia 16 tahun.

Tetapi itu tidak membuatnya berhenti berjuang.

Selasa kemarin (14/09) untuk keenam kalinya, Dwi Pertiwi, Nafiah Murhayanti, dan Santi Warastuti bersama dengan Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform, dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

Dalam kesaksiannya, Stephen Rolles, analis kebijakan senior dari Transform Drug Policy  Foundation, lembaga advokasi kebijakan obat‑obatan di Inggris mengatakan sejumlah konvensi internasional "tidak memberlakukan larangan mutlak terhadap obat-obatan apa pun untuk penggunaan medis dan ilmiah, sekali pun obat yang dianggap paling berisiko."

"Secara spesifik konvensi-konvensi tersebut menyatakan obat-obatan yang lebih berisiko harus tunduk pada kontrol yang lebih ketat, tetapi tidak dilarang untuk penggunaan medis dan ilmiah," kata Stephen.

Dalam sidang sebelumnya yang digelar akhir Agustus, pemohon menghadirkan tiga saksi ahli yang lain yakni ahli obat-obatan dari Imperial College London, David Nutt, Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Asmin Fransiska, serta guru besar kimia bahan alam Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh Musri Usman.

Penggunaan ganja untuk pengobatan di beberapa negara

Dalam kesaksiannya, di Mahkamah Konstitusi, David Nutt mengatakan sejak tiga tahun lalu Inggris telah membuka kontrol atas ganja dan dijadikan sebagai obat, setelah banyak bukti dari pasien-pasien yang menggunakannya.

Secara medis diungkapkan tanaman ganja memiliki kegunaan signifikan yang tidak dapat diberikan oleh obat-obatan lainnya. 

“Jadi di Inggris, ganja ini telah dipindahkan ke Kategori II, yang artinya ganja dapat digunakan sebagai obat ... dengan bukti adanya keamanan dan efikasi atau kemanjuran dari obat tersebut untuk penyakit tertentu."

"Dan Inggris memiliki pengaturan yang paling bebas karena bisa diresepkan oleh dokter spesialis mana pun,” kata David.

Ia juga menjelaskan laporan penelitiannya bahwa pasien anak yang mengonsumsi ganja mengalami pengurangan frekuensi kejang sampai 80 persen.

Sementara itu pada tahun 2016 Parlemen Australia secara resmi melegalkan penggunaan ganja sebagai pengobatan di dunia kedokteran.

Amandemen Undang-Undang Narkotika di Australia juga melegalkan penanaman ganja untuk tujuan medis dan ilmiah.

Mulai 1 Februari 2021, warga dapat membeli hingga 150mg cannabidiol (CBD) per hari di apotek di seluruh Australia tanpa resep, tapi pasien harus menemui dokter terlebih dahulu untuk jenis ganja obat lainnya.

Ganja obat diatur oleh lembaga Administrasi Barang Terapi Australia (TGA).

Dokter di Australia dapat mengajukan permohonan ke lembaga untuk memasok ganja obat kepada pasien tertentu melalui Skema Peresepan Resmi dan Skema Akses Khusus.

Pasien dapat mengakses ganja obat melalui dokter spesialis, dokter umum mereka, atau jika mereka mengambil bagian dalam uji klinis.

Negara tetangga Indonesia, Thailand juga sudah mulai mengizinkan penggunaan ganja untuk pengobatan.

Dalam Undang-Undang yang disahkan pada 2019 ini, perusahaan swasta dan pasien dapat mendaftar untuk menerima sertifikat yang dikeluarkan pemerintah, sehingga memungkinkan mereka mendapatkan ganja untuk tujuan medis secara legal.

Pelancong internasional dapat membeli lisensi untuk impor dan ekspor ganja medis mereka, dan hanya pasien dengan sertifikat ganja medis atau resep dokter dan perusahaan swasta, seperti industri pertanian, yang boleh memiliki tanaman tersebut.

'Cerebral palsy' adalah salah satu kondisi medis yang diperbolehkan oleh Pemerintah Thailand bagi warganya untuk mengakses ganja medis.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada