Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Mahasiswa Internasional Khawatirkan Diskriminasi dan Persaingan Mencari Kerja dan Sewa Rumah Ketika Kembali ke Australia

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Banyak mahasiswa internasional senang untuk bisa kembali ke Australia namun dalam waktu bersamaan juga khawatir. ()

Sekitar 60 ribu mahasiswa internasional sedang bersiap-siap untuk kembali ke Australia. Tapi sebagaian khawatir apa yang akan terjadi setibanya di Australia.

Radhika Gyani dari India yang sudah mendaftar mengikuti pendidikan S2 di  bidang teknik di University of New South Wales sudah kuliah online, namun sedang menghitung hari kapan dia bisa sampai di Australia.

Baca Juga:

Dia mengatakan kehilangan 'kontak langsung dengan sesama' dan pelajaran lewat online terlalu mengandalkan pada 'mesin komputer' namun dia juga merasa khawatir ketika nanti kembali ke Sydney.

"Saya tidak tahu bagaimana warga lokal menerima kembali para mahasiswa internasional dalam jumlah besar, tidak tahu bagaimana penerimaaan yang kami dapatkan," kata Gyani.

Itu bukan satu-satunya kekhawatiran Gyani, dia juga khawatir kembalinya para mahasiswa internasional akan memengaruhi kemungkinan dia mendapatkan tempat dan hidup yang layak di Sydney.

Baca Juga:

"Saya khawatir akan sewa rumah dan pekerjaan karena pasti kebutuhan akan tempat sewa dan juga banyaknya yang ingin mencari kerja sambil sekolah," katanya lagi.

Peneliti tingkat doktoral asal Pakistan Sonia Qadir juga mengkhawatirkan prospek kariernya di saat dia hampir menyelesaikan pendidikannya di bidang hukum.

"COVID memaksa universitas melakukan perampingan dan mengurangi jumlah mata kuliah bagi para mahasiswa tingkat doktoral untuk mengajar," kata Sonia.

'Gegar budaya kedua'

Mahasiswa Australian National University An Do mengatakan dia memperkirakan adanya 'gegar budaya kedua' yang dihadapinya ketika dia kembali ke Canberra.

"Tidak berbicara bahasa Inggris dengan teratur selama dua tahun memengaruhi kemampuan saya berkomunikasi, jadi saya harus memulai dari awal lagi," katanya.

"Saya betul-betul tidak tahu bagaimana reaksi teman-teman lokal saya ketika bertemu nanti.

"Kalau ada wabah lagi universitas bisa menerapkan pelajaran online lagi dan ini membuat interaksi sosial kami jadi lebih susah."

Tidak adanya kontak langsung dalam proses belajar juga mempengaruhi kemajuan akademis bagi Sonia Qadir.

"Tidak bisa bertemu langsung dengan yang lain berarti kita tidak bisa membangun komunitas akademis yang sebenarnya sangat penting, dan diperlukan dalam proses belajar dan berkembang sebagai akademisi," kata Sonia.

Dia mengatakan penutupan perbatasan internasional yang dilakukan Australia membuatnya berada di luar Australia dalam hampir keseluruhan proses belajarnya untuk menjadi doktor.

"Kami kehilangan kesempatan untuk mengajar, membangun jaringan dan berkenala dengan akademisi dari fakultas lain, selain pembimbing sendiri," kata Sonia lagi.

"Ini jelas menimbulkan pertanyaan mengenai pilihan terhadap Australia sebagai tujuan untuk belajar."

Susahnya belajar daring

Kepala kelompok mahasiswa asal Vietnam Binh Nguyen mengatakan banyak mahasiswa dari negaranya sudah menyampaikan berbagai masalah berkaitan dengan kuliah daring (online).

"Uang kuliah tidak berubah namun kualitas pendidikanya menurun dan tidak seorang pun mahasiswa mau menerima kondisi seperti ini," katanya.

Tetapi Barney Glover dari Komite Para Rektor Universitas di New South Wales mengatakan ribuan mahasiswa dari luar negeri masih menunjukkan minat untuk belajar di universitas Australia meski dilakukan lewat internet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Mereka memang membayar uang kuliah dan beberapa di antara mereka mendapat keringanan dibandingkan apa yang dibayar bila mereka berada di Australia," katanya.

"Ini telah memungkinkan universitas di tahun 2020 dan 2021 melewati masa COVID lebih baik daripada kalau tidak ada mahasiswa.

"Niat semua universitas di Australia adalah semua kembali ke kampus di musim gugur tahun 2022."

Binh Nguyen mengatakan banyak orang tua mahasiswa asal Vietnam mengatakan anak-anak mereka tidak mendapat bantuan memadai dari pemerintah Australia di awal-awal terjadinya pandemi.

"Mereka sekarang ragu-ragu mengirimkan anak-anak mereka ke Australia karena mereka mengikuti pemberitaan bahwa mahasiswa internasional ditelantarkan," katanya.

Selama masa pandemi ini, beberapa mahasiswa asal Vietnam menulis di forum online bahwa mereka mendapatkan cercaan dari sebagian masyarakat karena mahasiswa tersebut menggunakan masker.

Salah seorang agen yang mendatangkan mahasiswa internasional ke Australia  Duy Matthews mengatakan cerita mengenai pengalaman negatif mahasiswa beredar luas di banyak media sosial di Vietnam.

"Beberapa siswa dan orang tua sekarang memiliki pandangan yang keliru mengenai diskriminasi di Australia," katanya.

Zhao Li asal China berencana untuk kuliah S1 jurusan bisnis di University of Technology Sydney namun mengkhawatirkan buruknya hubungan antara China dengan Australia saat ini akan mempengaruhi kesempatannya mendapatkan teman.

"Media kami sudah mengatakan bahwa Australia sangat bermusuhan terhadap Cina," kata Zhao.

"Saya takut mengenai pandangan teman-teman sekelas terhadap saya meski saya tidak menyukai politik sama sekali.

"Mungkin pada awal-awalnya saya harus menjaga jarak dulu."

Kompetisi ketat dari negara lain

Agen pendidikan Duy Matthews mengatakan Layanan Jasa Mahasiswa dan Visa Australia, lembaga yang merekrut mahasiswa asal Vietnam, Thailand dan Myanmar untuk sekolah di Australia sudah mengalami penurunan jumlah mahasiswa 69 persen dibandingkan masa sebelum pandemi.

"Banyak orang tua dan siswa sedang mempertimbangkan untuk memilih negara lain seperti Kanada dan Amerika Serikat karena mereka sudah membuka perbatasan internasional lebih dahulu," katanya.

Dr Barney Glover yang juga adalah Rektor University of Western Sydney mengakui penutupan perbatasan internasional ke Australia sudah menyebabkan banyak mahasiswa internasional memilih Amerika Utara dan Eropa.

Dia mengatakan program percontohan di NSW untuk menerima kembali 500 mahasiswa gelombang pertama ke Australia akan sangat penting.

"Persaingan untuk menarik mahasiswa internasional sangat ketat," katanya.

"Ini menjadi kekhawatiran kami, dan itulah sebabnya program percontohan yang dilakukan di bulan Desember penting sekali."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada