Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Perempuan Muda di Bawah Usia 25 Tahun Paling Banyak Kehilangan Pekerjaan Semasa Pandemi di Australia

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Perempuan berusia 15 sampai 24 tahun hanya 8 persen dari angkatan kerja yang namun yang kehilangan pekerjaan semasa pandemi sebanyak 20 persen. (Brooke Cagle, Unsplash)

Tahun 2020 kemarin seharusnya menjadi tahun yang penting bagi Jorja Hickey yang berusia 24 tahun.

Jorja yang tinggal di Melbourne sudah menamatkan kuliahnya di jurusan bisnis dan dunia pertunjukan dan hendak mulai bekerja.

Baca Juga:

Namun pandemi COVID-19 mengubah semuanya.

"Selama setahun terakhir adalah masa-masa yang sulit bagi saya," katanya kepada ABC.

"Saya belum bisa bekerja di industri yang saya sukai padahal sudah belajar lama untuk masuk ke dalam industri itu."

Baca Juga:

Sekarang dua tahun setelah lulus, Jorja belum merasa mengerjakan apa pun dan perjalanan kariernya tersendat.

"Kita sekolah, kemudian melanjutkan universitas, mestinya ini awal untuk memulai karier panjang," katanya.

"Tapi sekarang saya merasa seperti muka saya ditampar."

Ada secercah harapan saat ia hampir mendapatkan pekerjaan menjadi koordinator sebuah acara konferensi di Sydney.

Namun itu pun tidak terjadi. 

"Saya muncul di hari pertama dan bos mengatakan 'konferensi sekarang tidak akan berlangsung karena Sydney lockdown, dan maaf sekarang kamu tidak punya kerjaan lagi," katanya.

Menurut sebuah laporan terbaru di Australia, apa yang dialami oleh Jorja, dialami juga oleh ribuan perempuan lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Equity Economics untuk lembaga non-profit Australians Investing in Women (AIIW) menemukan tiga dari lima pekerjaan yang dihentikan semasa pandemi tahun lalu dialami oleh perempuan.

Ditemukan juga bahwa meski perempuan berusia 15 sampai 24 tahun hanya sekitar 7,5 persen dari angkatan kerja, tapi jumlah mereka yang kehilangan pekerjaan mencapai 20 persen.

50 persen dari mereka kehilangan pekerjaan terjadi antara bulan Juni sampai September 2021.

Perempuan lebih merasakan dampaknya

Salah satu penulis laporan, yang juga kepala ekonom Equity Economics, Dr Angela Jackson mengatakan dirinya sangat mengkhawatirkan mengenai perempuan-perempuan muda yang bekerja di beberapa industri yang memang rentan terkena dampak penutupan COVID-19.

"Mereka bekerja di bidang ritel, hospitality [industri layanan jasa makanan dan minuman], di bidang seni, dan ini adalah sektor-sektor yang paling terpengaruh," katanya kepada ABC.

Direktur Eksekutif AIIW, Julie Reilly khawatir dengan dampak jangka panjang dari hilangnya pekerjaan tersebut.

"Pandemi bisa menunda masuknya perempuan ke dunia kerja sekitar satu tahun," katanya.

"Pandemi sudah menciptakan risiko besar bagi masa depan ekonomi para perempuan muda di Australia dan semakin mengancam kesetaraan gender yang sudah diperjuangkan selama puluhan tahun terakhir."

Kelompok migran lebih terpengaruh lagi

Laporan juga mengatakan para migran muda, baik perempuan dan laki-laki, juga paling tinggi terpengaruh secara ekonomi oleh pandemi di Australia.

Yang paling terpengaruh adalah perempuan muda dari yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. 45 persen dari mereka kehilangan pekerjaan di bulan Mei 2021.

Halima, perempuan berusia 24 tahun yang tinggal di Melbourne, tiba di Australia dari Kenya lima tahun lalu.

Dia sedang belajar untuk mendapatkan sertifikat di bidang masakan komersial dan bekerja sedikitnya lima hari seminggu sebelum pandemi, tapi kemudian pekerjaannya berkurang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kadang saya hanya dapat kerja satu hari, bahkan hanya satu atau dua shift," kata Halima kepada ABC.

"Sebelum COVID, saya bisa mendapat lima atau enam shift."

Karena itu Halima harus bekerja di sebuah pabrik untuk pekerjaan kedua demi mendapatkan tambahan penghasilan.

Ia mengatakan keadaannya "sangat sulit" dan rindu untuk bisa bekerja dan mengejar impiannya bekerja di dapur penuh waktu.

"Saya merasa sedih karena kadang saya hanya duduk di rumah seharian dan kami tidak bisa melakukan apa pun," kata Halima.

Kesulitan mendapatkan kerja yang aman dan permanen

ABC juga berbicara dengan belasan pekerja muda yang merasa bahwa selama masa pandemi mereka merasa dieksploitasi oleh tempat mereka bekerja.

Beberapa seperti misalnya Mimi, asal Melbourne yang berusia 23 tahun. Ia mengatakan merasa tidak aman bekerja di sebuah restoran makanan cepat saji sehingga memutuskan untuk berhenti.

"Mereka meminta kami bekerja juga seperti petugas keamanan untuk menangani mereka yang tidak mengenakan masker atau tidak mau memindai QR code," katanya.

"Kami tidak pernah mendapat pelatihan memadai soal ini."

Namun menemukan pekerjaan lain juga susah dengan pengalaman kerja yang minimal dan juga latar belakang pendidikan yang belum lulus kuliah.

"Saya tidak memiliki banyak pengalaman dan saya juga masih kuliah," kata Mimi.

"Saya pernah diwawancarai beberapa kali namun langsung ketahuan bahwa pekerjaannya nantinya tidak mengenakan."

Apa solusinya sekarang?

Dr Angela Jackson ingin Pemerintah Australia memberikan perhatian lebih bagi pekerja perempuan muda ketika membuat kebijakan terkait menciptakan lapangan kerja lebih banyak setelah 'lockdown' dicabut.

Menurutnya, pada umumnya yang paling terpengaruh pada masa resesi adalah para pemuda, sehingga kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah sebelumnya sekarang mesti diubah.

"Resesi dan menurunnya perekonomian sekarang ini berbeda," katanya.

Ia menginginkan lebih banyak pilihan pendidikan bagi perempuan muda yang tidak bisa mendapatkan banyak pengalaman selama 18 bulan terakhir.

"Ketika tingkat pendidikan kita rendah, maka kesempatan untuk bangkit dan kembali bekerja juga lebih sedikit," katanya.

Ia juga menghendaki perempuan yang saat ini bekerja di bidang yang bukan pilihan, pada akhirnya bisa bekerja di bidang yang diinginkan.

"Ini bisa memiliki dampak besar bagi produktivitas dan upah mereka dalam jangka panjang."

Julie dari AIIW  menyepakati hal tersebut.

"Yang diperlukan sekarang adalah intervensi lewat kebijakan Pemerintah atau yang lain untuk meningkatkan peluang bagi perempuan, menciptakan angkatan kerja yang lebih tahan banting dan mencipakan kesejahteraan bagi semua," katanya.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC 

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada