Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Memberikan Lebih Banyak Akses kepada Warga Difabel akan Lebih Membantu Wujudkan Mimpi Mereka

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Ria Andriani mengatakan warga yang hidup dengan disabilitas tidak membutuhkan belas kasihan, tapi perlu disediakan fasilitas yang lebih mudah diakses bagi mereka. (Koleksi pribadi)

Ria Andriani masih ingat saat ia tampil bernyanyi bersama dua perempuan lainnya di Bandung ketika ia remaja. Setelah tampil, seorang pria setengah baya menghampirinya dan mengatakan "saya sebetulnya hari ini mau bunuh diri, tapi saya lihat kamu. Saya enggak jadi mau bunuh diri."

Pengalaman itu tidak pernah dilupakan Ria, yang kehilangan pengelihatannya saat masih kecil.

Baca Juga:

Ria pindah ke Australia pada usia 16 tahun bersama orangtuanya, dan kini ia tinggal di Sydney sebagai penyanyi di paduan suara Sydney Chambre Choir dan Christ Church St Laurence.

Ia juga bekerja sebagai pakar 'braille' untuk mengecek dokumen-dokumen yang ditulis dengan huruf khusus bagi penyandang tunanetra.

Saat berada di panggung, Ria mengatakan jika ia tidak hanya sekadar menyanyi.

Baca Juga:

"Paduan suara saya banyak mengangkat topik terkait lingkungan, seperti kita baru saja menampilkan Garden of The Soul, atau Taman Jiwa, dengan lagu-lagu yang berisi soal kekeringan, kebakaran hutan," ujarnya.

"Banyak musisi di sini memiliki opini terhadap sesuatu, jadi ini salah satu cara para musisi untuk berbagi opini soal masalah lingkungan atau mendukung penerima suaka dan migran,"

Berdasarkan pengalamannya menghadapi sejumlah tantangan, Ria mengatakan dibutuhkan waktu bagi musisi dengan disabilitas untuk bisa diapresiasi di Australia.

"Jika saya minta partitur sebelum rehearsal, supaya kalau belum ada braille-nya bisa saya buat, biasanya mereka bilang belum punya … jadi saya datang untuk latihan tanpa musik," Ria menceritakan salah satu contohnya.

"Semakin lama mereka semakin mengerti kebutuhan saya."

"Tantangan sampai sekarang adalah memang masih akses ke braille score … untuk bisa membaca score atau partitur adalah sangat penting bagi saya."

Sementara untuk mobiltas, Ria mengaku tidak memiliki masalah, meski ia juga memiliki 'guide', yakni seekor anjing bernama Max yang setia membantunya terutama saat Ria sedang 'travelling'.

'Jangan dibelaskasihani'

Media di Indonesia seringkali menampilkan mereka yang hidup dengan disabilitas seperti "orang-orang yang hebat", menurut Ria.

Ia mengatakan, sebagai akibatnya ada tekanan untuk membandingkan dengan mereka yang bisa mencetak prestasi atau melakukan banyak hal.

"Tapi tidak semudah itu, ada banyak proses yang terjadi di belakangnya. Jadi dengan menampilkan mereka seperti itu, tidak memberikan gambaran penuh soal apa yang kami alami," ujarnya.

"It takes a village to raise a child, kalau menurut pepatah dalam bahasa Inggris," kata Ria menjelaskan perlunya dukungan dan bantuan dari orang sekitarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ria mengaku seringkali mendapat pengalaman yang "asimetris". Saat orang lain bisa terinspirasi oleh penyandang disabilitas, di sisi lain ia juga pernah mengalami perlakuan yang berbeda karena status disabilitasnya.

"Orang yang punya disabilitas juga manusia, kita juga punya rasa, punya hati," ujar Ria.

"Jangan dibelaskasihani, tapi justru jadikanlah sebuah lingkungan yang kita semuanya bisa lebih mengaksesnya, sehingga kami bisa setara ."

Ria mengatakan, di eranya pilihan hidup bagi tunanetra hanya ada dua, yakni menjadi musisi atau tukang pijat.

Tapi sekarang Ria melihat teman-teman tunanetra yang mampu jadi guru di sekolah biasa, bukan di sekolah khusus murid difabel. Atau bahkan ada yang menjadi insinyur, yang menurutnya dulu dianggap tidak mungkin karena penyandang tunanetra tidak memiliki akses ke komputer khusus.

"Dengan memberikan akses, pendidikan, dan ditambah kreativitas, kita bisa jadi apa pun."

Tidak bisa dimasukkan ke dalam satu kategori

Memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional yang jatuh setiap tanggal 3 Desember, Ria saat ini menjadi seorang 'host' untuk serial video bersama ABC Classic, program musik yang fokus pada musik-musik klasik dari penjuru dunia.

Serial video tersebut menampilkan para musisi dengan disabilitas dan bagaimana mereka bisa bermusik.

"Setiap orang yang memiliki disabilitas itu berbeda-beda, kita tidak bisa dikategorikan ke dalam satu kategori yang sama," jelas Ria tentang pesan yang ia dapatkan setelah mewawancarai para musisi.

"Yang kita alami berbeda, tapi kita bisa share apa yang kita sudah punya dan berbagi pandangan soal apa yang kita bisa lakukan sebagai musisi disabilitas dan apa yang bisa dilakukan industri musik untuk mendukung kita."

Dari pengalamannya, Ria mengajak warga yang hidup dengan disabilitas untuk tetap semangat dalam mewujudukan mimpinya.

"Maju terus," kata Ria.

"Jika ingin mendapatkan respek dan martabat, serta hak yang sama dengan yang non-disabilitas, kita benar-benar harus melakukan sesuatu," katanya.

"Jangan berharap dunia berubah untuk kita kalau kita tidak bisa jadi bagian dari perubahan itu."

ABC Classic merilis serial video baru yang dibawakan Ria Andriani untuk mengeksplorasi pengalaman para musisi penyandang disabilitas dalam rangka peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2021, yang bisa dilihat di sini.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada