Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Mahasiswa Indonesia Tiba di Sydney Melalui Program Penjemputan Pemerintah New South Wales

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Linda Susilowati (kanan) tiba di Sydney melalui program penjemputan dari Pemerintah NSW Senin kemarin. (Supplied)

Mimpi Linda Susilowati untuk mendarat di Sydney sebagai mahasiswa internasional sejak dua tahun yang lalu terwujud hari Senin kemarin (6/12).

Ketika dihubungi Natasya Salim dari ABC Indonesia, mahasiswi S3 University of Sydney tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.

Baca Juga:

"Rasanya masih nyata enggak nyata," kata Linda yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah.

"Karena sudah hampir dua tahun perbatasan tutup, bukan? Tahu-tahu sudah di Sydney. [Jadi berpikir] 'Ini beneran sudah di Sydney?'"

Linda adalah satu dari sekitar 250 mahasiswa internasional rombongan pertama yang tiba di Australia melalui program penjemputan bernama NSW International Student Arrivals Pilot Plan yang dilakukan Pemerintah New South Wales.

Baca Juga:

Mahasiswa internasional dari 15 negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Vietnam, hingga Kanada berkumpul di Singapura untuk penerbangan pukul 12 malam waktu setempat.

Saat tiba di Sydney Airport, Linda mendapatkan sambutan hangat dari staf universitas dan organisasi pendidikan lainnya.

"Jadi waktu saya keluar pintu bandara, ada segerombol orang yang berteriak 'Yay!' And it was really overwhelming and heartwarming," ujarnya.

"Saya sadar ternyata yang pengen kita di Sydney itu bukan cuma kita, tapi education people dan staf juga ingin dan butuh kita ada di sini. Jadi berasa disambut banget."

Mario Johan Hartono, mahasiswa Indonesia lain yang turut serta dalam program tersebut juga merasa terharu.

"Pas disambut sama Study NSW jujur lumayan terharu karena saya pikir, 'Oh, susah banget datang ke sini'," ujar mahasiswa S2 di University of Technology Sydney tersebut.

Sejak tahun 2017, Mario mengatakan ia sudah berusaha keras dan mengorbankan banyak waktu dan biaya untuk bisa kuliah di Australia, termasuk meninggalkan pekerjaannya.

Dari Soekarno Hatta sampai Sydney Airport

Setelah mendaftarkan diri untuk mengikuti program tersebut, serta menjelaskan alasan mengapa ia harus kuliah tatap muka kepada pihak universitas, Linda mendapat kabar jika dirinya terpilih pada akhir Oktober lalu.

Ia mengatakan di tahap itu mahasiswa yang mendaftar harus memiliki visa pelajar dan sudah divaksinasi dua kali dengan vaksin yang diakui Badan obat-obatan Australia atau TGA.

Para mahasiswa juga diminta untuk membayar sekitar A$2,000 (Rp22 juta) untuk mengamankan kursi di pesawat.

Ia berangkat dari bandara Soekarno-Hatta pada pukul 7 malam WIB dengan pesawat Singapore Airlines dan mendarat di Changi Airport, Singapura untuk transit ke Sydney.

Linda mengatakan ketika 'check-in', mahasiswa harus menyediakan beberapa persyaratan lain seperti bukti tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan di klinik yang ditetapkan maskapai penerbangan, selain tentunya paspor dan visa pelajar.

Mereka juga harus menyediakan dokumen 'travel declaration', yang berisi informasi mengenai tempat tinggal dan karantina sesampainya di Australia dan keterangan apakah sudah divaksinasi tiga hari sebelum keberangkatan.

Di dalam pesawat para mahasiswa duduk di nomor kursi yang ditetapkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesampainya di Sydney Airport, Linda beserta mahasiswa harus melewati proses pemeriksaan dokumen dan barang lainnya, kemudian berkumpul dengan rombongan universitasnya masing-masing, sebelum kemudian dibawa ke tempat karantina selama tiga hari.

Mario mengatakan tes PCR dilakukan di hari pertama dan hari keenam ketibaan di Sydney.

Hingga dua minggu ke depan, ia akan menempati fasilitas akomodasi mahasiswa yang sama sambil mencari tempat tinggal baru.

Ingin segera ke kampus dan menjelajahi Sydney

Linda tidak sabar menunggu hari terakhir karantina untuk bisa pergi ke kampus dan melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukannya ketika kuliah online.

"Sebenarnya kenapa pengen cepat-cepat ke Sydney karena saya ingin mengakses kantor, fasilitas di kampus, juga networking," katanya.

Ia berharap agar hal tersebut dapat menunjang penelitian dan kariernya di masa depan.

Sementara Mario sudah tidak sabar untuk menjelajahi Sydney sebelum memulai kelasnya tanggal 21 Februari 2022.

"Saya sangat excited untuk mengetahui bagaimana tinggal di Sydney dan ingin isolasinya cepat selesai," katanya.

Bagi mahasiswa internasional yang masih menunggu giliran untuk masuk ke Australia, ia pun turut berempati.

"I still feel sorry dan pengen mereka tahu sebenarnya tidak ada yang beruntung atau enggak, tapi memang prosesnya saja yang kita lalui di masa COVID," katanya.

Awalnya, Australia berencana untuk membuka kembali perbatasan internasional bagi pemegang visa, termasuk mahasiswa yang sudah divaksinasi pada 1 Desember lalu.

Namun rencana tersebut ditunda hingga tanggal 15 Desember dengan munculnya varian baru Omicron.

Ketika diwawancara ABC hari Senin lalu, Mark Scott, wakil rektor University of Sydney mengatakan penutupan perbatasan Australia telah mendorong mahasiswa untuk studi di negara lain.

Padahal keberadaan mereka sangat membantu industri akademis di Australia dan sektor perekonomian secara keseluruhan.

"Dana yang disediakan oleh mahasiswa internasional membantu membiayai fasilitas penelitian yang menguntungkan semua pihak," katanya.

Wakil kepala pemerintahan di NSW, Stuart Ayres mengatakan "sektor perhotelan kami sangat menantikan kembalinya mahasiswa internasional".

Laporan tambahan oleh Alison Xiao

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada