Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

'Lebih Parah dari Lockdown' : Restoran Indonesia di Australia Ikut Alami Kekurangan Pekerja

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan
Hana Tania mengatakan penutupan perbatasan Australia masih terasa dampaknya hingga saat ini terutama di kalangan pelaku bisnis kuliner. (Koleksi pribadi)

Sejumlah pemilik restoran di Australia melaporkan persaingan dalam mencari pekerja di tengah meningkatnya penularan Omicron.

Mereka bahkan rela membayar upah lebih tinggi agar bisa tetap menjalankan usahanya, sementara restoran lain terpaksa harus tutup untuk pertama kalinya sejak pandemi COVID-19.

Baca Juga:

Kasus COVID-19 yang terus meningkat membuat banyak pekerja, termasuk di sektor kuliner, jatuh sakit atau harus isolasi mandiri karena pernah menjadi 'close contact' atau kontak erat dengan kasus positif.

Perbatasan Australia yang sempat ditutup menambah masalah karena menyebabkan ribuan pelajar internasional dan pekerja terampil yang biasanya bekerja di restoran belum bisa kembali ke Australia.

Hana Tania, pemilik restoran Ayam Penyet Ria di kawasan South Melbourne, harus ikut bekerja untuk membantu karyawannya.

Baca Juga:

Sebelum pandemi COVID-19 biasanya ia punya empat sampai lima pegawai dalam satu 'shift'. Tapi karena kesulitan pekerja, kini hanya ada tiga orang yang bekerja, termasuk dirinya.

"Kondisi ini jauh lebih parah sih dari lockdown kemarin," ujar Hana.

"Sekarang jam buka kita bener-bener tergantung dengan siapa yang available untuk dimasukkan ke jadwal kerja," katanya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Hana mengaku harus membuat keputusan harian, apakah restorannya bisa tetap buka, atau mengurangi jam buka, atau sama sekali tutup seharian, jika ada pekerjanya yang sakit atau harus menjalani isolasi setelah menjadi kontak erat.

Kondisi yang sama juga dialami oleh banyak restoran, termasuk salah satu restoran Indonesia yang sudah beroperasi paling lama di Melbourne.

Restoran Nelayan, memutuskan untuk menutup sementara cabangnya di kawasan Hawthorn, meski pelanggannya masih bisa datang ke cabangnya di pusat kota.

Pemiliknya, Samuel Sanusi, mengatakan alasan penutupan sementara itu dikarenakan salah satu juru masaknya harus pulang ke Indonesia dan ia belum mendapat pengganti.

"Dia kan belum bertemu keluarganya di Indonesia sejak kita lockdown, jadi saya harus bijak untuk memperbolehkannya [pulang]," kata Samuel.

Sejak September lalu, ia sudah mencoba mencari penggantinya bukan hanya di Melbourne, tapi juga hingga ke Sydney dan Perth, bahkan di Indonesia.

"Ada beberapa yang melamar dari Indonesia dan saya siap memberikan sponsor [visa kerja], tapi kendalanya adalah di aturan imigrasi."

Ketika Samuel membuka restoran Nelayan hampir 30 tahun lalu, persyaratan mendatangkan juru masak dari Indonesia hanyalah memiliki kemampuan masak. Tapi kini aturan imigrasi Australia mensyaratkan nilai tes Inggris dan banyak pelamar dari Indonesia terkendala mendapatkan nilai minimum.

Perang upah memperebutkan pekerja

Hana mengatakan saat ini banyak restoran yang pegawainya "diambil" oleh restoran lain dengan iming-iming upah lebih tinggi.

"Katakanlah mereka sudah memberi upah sesuai dengan aturan standar gaji, tapi restoran fine dining bisa menawarkan sampai A$35 (sekitar Rp350 ribu) per jam untuk pekerjaan cuci piring," ujarnya.

"Banyak restoran yang akhirnya tidak bisa bersaing dengan mereka."

"Bahkan ada juga restoran yang menawarkan uang tambahan ratusan dolar kepada pekerjanya, jika mereka bisa ajak temannya bekerja."

Augustina Mentari, asal Bekasi akhirnya bisa kembali ke Melbourne sebelum Natal kemarin, setelah hampir dua tahun tidak bisa masuk Australia karena penutupan perbatasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia mengatakan sudah mendapatkan beberapa tawaran kerja di sektor kuliner sejak di Indonesia, sebelum mengirimkan surat lamaran dan CV.

"Bahkan ada juga pemilik restoran yang langsung menawarkan kerja bukan lagi manajernya, belum pernah terjadi sebelumnya."

"Restoran saat ini benar-benar memperebutkan kita."

"Bukan cuma dari pengalaman gue, tapi banyak banget teman-teman ditawari gaji lebih bagus dari tempat lain," katanya.

"Bahkan ada juga yang mau keluar dari kerjaannya karena tempat lain menawarkan gaji lebih tinggi, kemudian pemiliknya menaikkan gaji untuk bisa mempertahankannya."

Tapi Augustina mengaku ia tetap tidak mau bekerja dengan jam kerja yang banyak, karena ia pernah sakit COVID-19 saat di Indonesia.

Kekhawatirannya saat ini adalah kontak dengan banyak orang, yang bisa meningkatkan risiko tertular COVID-19.

Upah pekerja yang meroket

Tentunya bukan hanya restoran Indonesia yang mengalami situasi kekurangan pekerja, begitu pula dengan restoran-restoran lainnya, terutama di Sydney dan Melbourne.

Bulan November lalu, Asosiasi Restoran dan Katering Australia sudah memperingatkan kemungkinan kenaikan harga makanan karena kekurangan tenaga kerja, selain juga karena kenaikan harga barang-barang.

Wes Lambert, kepala eksekutif dari asosiasi tersebut mengatakan upah pekerja sektor kuliner saat ini sudah meroket dan jadi tantangan banyak restoran dan pemilik usaha.

"Kita mengapresiasi adanya upah yang lebih kompetitif, tapi sayangnya, banyak bisnis yang tidak bisa menangani tekanan upah tinggi dan terpaksa harus menutupnya di saat sedang sepi."

Wes juga mengatakan penutupan perbatasan Australia telah membuat Australia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bakat-bakat memasak dari berbagai penjuru dunia.

Menurutnya Pemerintah Australia perlu mengembalikan skema dukungan finansial seperti yang ditawarkan di awal pandemi agar bisa membantu restoran bertahan.

Hana setuju dengan perlu adanya bantuan lebih banyak dari Pemerintah Australia untuk sektor pelayanan kuliner.

"Kita tahu kita mulai hidup dengan virus, tapi ketika semua dibuka kembali [setelah lockdown], siapa yang kerja? Harusnya Pemerintah memikirkannya juga," ujarnya.

Sementara itu, ia berharap konsumen bisa ikut mendukung sektor kuliner di Australia, setidaknya dengan menunjukkan sikap sabar atau memberikan 'review' yang baik di internet.

"Sebelum konsumen memesan makanan, saya selalu tanya mereka keberatan tidak kalau harus menunggu lama lebih dari biasanya, karena kita harus menyelesaikan pemesanan sebelumnya akibat kurang pekerja."

"Please be kind dengan sektor layanan kuliner saat ini. Kita berusaha yang terbaik untuk tetap bisa melayani Anda."

Laporan ini dirangkum dari artikel dalam bahasa Inggris

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada