Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tragedi Cicak-Buaya
Tragedi hukum itu terkuak dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, awal November lalu. Menyidangkan perkara uji materi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Mahkamah memerintahkan pemutaran rekaman penyadapan Anggodo Widjojo, pengusaha asal Jawa Timur yang memiliki hubungan dekat dengan para pejabat kepolisian dan kejaksaan.
Sang pengusaha diduga berperan besar dalam penetapan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dua pemimpin KPK, sebagai tersangka kasus pemerasan. Rekaman pembicaraan Anggodo menunjukkan hubungannya yang erat dengan Wakil Jaksa Agung A.H. Ritonga dan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto.
Pria bertubuh gempal dengan nama asli Ang Tjoe Niek ini dengan leluasa meminta penyidik polisi dan petinggi kejaksaan melakukan ini dan itu, seraya mengatasnamakan presiden dan penegak hukum dalam urusan lain. Dengan lihai dia merangkai kesaksian demi kesaksian agar kesimpulan akhir dari kasus ini sesuai dengan kepentingannya. Ia bahkan dengan geram berujar, ”Sesuk nek Chandra dilebokno, malah tak pateni neng njero.”
Inilah klimaks perseteruan KPK dengan kepolisian, yang berawal dari tersadapnya telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Susno Duadji. Disadap sejak akhir 2008 hingga April 2009, sang Jenderal diduga ikut berperan aktif dalam pencairan dana US$ 58 juta milik pengusaha tembakau Budi Sampoerna di Bank Century.
Perseteruan lalu terbuka ketika polisi mengusut kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Maret 2009. Polisi meringkus para pelaku. Dari keterangan mereka, polisi terus mengusut hingga menyimpulkan keterlibatan Antasari Azhar, Ketua KPK. Di tahanan, Antasari justru membuka kasus lain. Ia membuat testimoni, menuding para pemimpin KPK menerima suap dari Anggoro Widjojo, pemilik PT Masaro Radiokom. Tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan itu adalah kakak Anggodo.
Berbekal ”testimoni” ini, polisi menetapkan Chandra dan Bibit sebagai tersangka. Polisi hanya mengandalkan sangkaannya pada keterangan Ary Muladi, anak buah Anggoro, yang mengaku menyerahkan Rp 5,1 miliar kepada pimpinan KPK. Padahal Ary telah mencabut keterangan ini.
Di tengah perseteruan, Susno dengan jumawa menyebut kepolisian sebagai ”buaya” yang lebih berkuasa daripada KPK, yang disebutnya hanya ”cicak”. Publik marah dengan kriminalisasi pimpinan KPK. Sebagai respons, Presiden membentuk Tim Verifikasi Fakta dan Hukum Kasus Bibit dan Chandra.
Pada akhirnya, Susno dicopot dari jabatannya. Begitu juga Ritonga. Tapi kasus ini tak pernah diusut, setidaknya hingga saat ini.
FOTO: TEMPO/Dinul Mubarok, Adri Irianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo