Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Misteri Rohli</font> dan Kembarannya

Penyusunan daftar pemilih kacau di berbagai daerah. Banyak nama ganda.

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTAHUN-tahun menjadi sekretaris desa, Muhammad Zahri tak pernah merasa punya warga bernama Rohli. Alis lelaki 61 tahun itu nyaris bertemu. Ia berusaha keras mengingat-ingat. ”Dari kecil saya di sini, tidak ada nama itu,” kata Sekretaris Desa Blu’uran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Madura, ini kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Blu’uran berjarak 40 kilometer dari pusat Kota Sampang—sekitar 45 menit jika dilintasi dengan mobil. Aspal menuju desa ini rusak dan berlubang-lubang. Sebagian penduduk bertani dan berladang. Sebagian lain merantau ke Jawa atau Malaysia. Di desa yang berada di atas perbukitan kapur itu, semua warga saling mengenal. Mereka akan segera tahu jika ada pendatang baru.

Dari daftar pemilih tetap yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur, ada enam nama Rohli di desa ini. Dua di antaranya memilih di Tempat Pemungutan Suara IX pada pemilihan Gubernur Jawa Timur yang diulang atas perintah Mahkamah Konstitusi, 21 Januari lalu. Tanggal lahir keduanya sama, yaitu 7 Januari, tapi beda tahun. Rohli pertama lahir pada 1953, yang kedua empat tahun kemudian. Dua-duanya ditulis berkelamin perempuan. Di tempat ini, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf atau Karsa menang mutlak, 136 : 10, dibanding pesaing mereka, Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono.

Kedua Rohli pada daftar pemilih ditulis bernomor induk kependudukan 16 angka, dengan enam angka pertama 352710. Enam angka ini biasanya menunjukkan provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Zahri memastikan nomor induk dua Rohli itu palsu. Selain melebihi jumlah angka yang seharusnya, 14, pola penomorannya tak sesuai dengan Kecamatan Karang Penang. ”Ini ngawur,” ujarnya.

Empat nomor pertama memang kode Sampang: 35 buat Jawa Timur dan 27 kabupaten ini. Namun kode Kecamatan Karang Penang mestinya 14, bukan 10 seperti milik dua Rohli. Abdul Waris, 35 tahun, Ketua Panitia Pemungutan Suara Desa Blu’uran, pun mengatakan tak pernah mendengar warga bernama Rohli.

Menurut tim relawan Khofifah Indar Parawansa yang melacak dugaan kekisruhan daftar pemilih saat pemilihan gubernur, ada 19 Rohli di Kecamatan Karang Penang. Delapan Rohli perempuan dan yang lainnya laki-laki. Selain enam di Blu'uran, nama Rohli tersebar di Tlambah, Karang Penang Oloh, Karang Penang Onjur, dan Gunung Kesan. Nomor induk kependudukan mereka semua kacau. Nomor induk satu Rohli saja dipakai oleh 428 nama pemilih berbeda di Karang Penang. Semuanya dengan tempat dan tanggal lahir serta jenis kelamin sama. Sebagian di antaranya bernama laki-laki, semacam Ahmadi, Ilyas, Kholil, atau Muhammad Nasirudin, tapi dicantumkan berkelamin perempuan.

Kekeliruan yang dengan mudah bisa ditemukan adalah pemilih tanpa nomor induk kependudukan, pemakaian satu nomor induk oleh banyak orang, atau pencantuman nama satu orang lebih dari satu kali. Di daftar pemilih tetap bahkan tercantum nama yang lahir pada 2019. Di Desa Sejati, Kecamatan Camplong, Sampang, ada 25 pemilih yang berusia nol alias belum lahir.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur Wahyudi Purnomo, yang telah ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan daftar, enggan berkomentar. Ia berdalih soal daftar pemilih ini merupakan materi penyelidikan. Karena itu, ia hanya akan memberikan penjelasan kepada polisi ketika nanti dimintai keterangan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Sampang Abu Ahmad Dhoveir mengakui ada kekeliruan daftar pemilih tetap. Menurut dia, ini karena kesalahan cetak. Alasannya, program komputer yang dirancang Komisi Pemilihan berbeda dengan program komputer di percetakan. Komisi, katanya, tidak sempat mengoreksi kesalahan ini pada pemilihan ulang gubernur di Sampang, Januari lalu. ”Waktunya mepet,” ujarnya.

Persoalannya, daftar pemilih yang sama akan dipakai untuk pemilihan umum legislatif April nanti. Di beberapa tempat memang ada verifikasi ulang, tapi umumnya hanya buat menambah pemilih yang belum terdaftar. ”Jumlah pemilih semakin bertambah karena ada warga yang sudah cukup umur atau menikah,” kata Abdul Waris. Dalam pemilu nanti, warga yang berhak mencoblos adalah mereka yang berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah pada tanggal pemilihan.

Kisruh daftar pemilih di Sampang ini hanya satu contoh. Masalah serupa muncul di daerah lain. Di Papua, sekitar 127 ribu pemilih ternyata fiktif. International Foundation for Electoral Systems, lembaga swadaya masyarakat internasional yang memantau pemilu Indonesia, mencatat adanya sejumlah kelemahan pada daftar pemilih. Di antaranya jumlah yang melebihi atau kurang dari pemilih sebenarnya, usia yang tak memenuhi syarat, duplikasi nama, ribuan desa yang komposisi pemilih laki-laki dan perempuannya tak masuk akal, pemilih yang tak memiliki nomor induk kependudukan, keluarga yang beranggotakan lebih dari 100 orang, serta pemilih yang memiliki tanggal lahir setelah 2008.

Daftar pemilih ini disusun berdasarkan data administrasi dan kependudukan dari Departemen Dalam Negeri. Pada April tahun lalu, ribuan cakram padat berisi data 174 juta pemilih diserahkan Departemen Dalam Negeri ke Komisi Pemilihan Umum. Komisi lalu membentuk tim untuk melakukan verifikasi—dalam bahasa komisi ini disebut coklit alias pencocokan dan penelitian. Dari proses ini, data pemilih berkurang menjadi tinggal sekitar 169 juta.

Nama-nama itu lalu dimasukkan ke daftar pemilih sementara. Daftar ini dikirim ke desa-desa untuk dipublikasikan. Setelah mengakomodasi sejumlah koreksi, daftar ini diputuskan menjadi daftar pemilih tetap. Komisi Pemilihan Umum membaginya ke sekitar 500 ribu tempat pemungutan suara.

Daftar ini ternyata juga masih digugat. Dalam rapat koordinasi Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Rosyid Saleh dengan perwakilan 38 Komisi Pemilihan Umum se-Jawa Timur, Jumat pekan lalu, diketahui sekitar 230 ribu orang menyatakan belum terdaftar sebagai pemilih. Para penyelenggara pemilu di provinsi itu pun meminta mereka dimasukkan ke daftar.

Namun pengubahan daftar pemilih tetap haram dilakukan sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Pemilihan Umum. Aturan darurat ini masih mengundang pro dan kontra. ”Ada yang bilang sudahlah pakai saja daftar pemilih yang ada,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Hafiz Anshary. ”Yang lain mengatakan kita kasih kesempatan perbaikan sekali lagi.” Menurut Kevin Evans, penulis buku Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, kisruh data pemilih ini membuka peluang sengketa. ”Terutama jika selisih suara antarpeserta pemilu sangat tipis.”

Budi Setyarso, Anang Zakaria (Sampang), Hari Tri Wasono (Kediri), Dini Mawuntyas (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus